Sabtu, 07 Maret 2009

WAGE LED GROWTH

WAGE-LED GROWTH

I. Latar Belakang

Kolapsnya perekonomian Indonesia sejak krisis pada pertengahan 1997 membuat kondisi ketenagakerjaan Indonesia ikut memburuk. Sejak itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga tidak pernah mencapai 7-8 persen. Padahal, masalah pengangguran erat kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi. Jika terjadi pertumbuhan ekonomi ada, secara otomatis mendorong penyerapan tenaga kerja. Setiap pertumbuhan ekonomi satu persen, tenaga kerja yang terserap bisa mencapai 400 ribu orang. Jika pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 3-4 persen, tentunya hanya akan menyerap 1,6 juta tenaga kerja, sementara pencari kerja mencapai rata-rata 2,5 juta pertahun. Dengan demikian setiap tahun masih terdapat pencari kerja yang tidak terserap oleh pasar tenaga kerja, sehingga terjadi penangguran. Pada 1997, jumlah penganggur terbuka mencapai 4,18 juta. Selanjutnya, pada 1999 meningkat 6,03 juta, 2000 sedikit menurun 5,81 juta, 2001 meningkat cukup tajam mencapai 8,005 juta, 2002 masih terus meningkat menjadi 9,13 juta dan 2003 meningkat lagi menjadi 11,35 juta. Sementara itu, data pekerja dan pengangguran menunjukkan, pada 2001: usia kerja (144,033 juta), angkatan kerja (98,812 juta), penduduk yang kerja (90,807 juta), penganggur terbuka (8,005 juta), setengah penganggur terpaksa (6,010 juta), setengah penganggur sukarela (24,422 juta); pada 2002: usia kerja (148,730 juta), angkatan kerja (100,779 juta), penduduk yang kerja (91,647 juta), penganggur terbuka (9,132 juta), dan setengah penganggur terpaksa (28,869 juta). untuk menurunkan pengangguran dapat dicapai melalui tiga asumsi dasar,
1. Pertumbuhan tenaga kerja rata-rata pertahun ditekan dari 2,0 persen pada periode 2000-2005 menjadi 1,7 persen pada periode 2005-2009. Demikian juga pertumbuhan angkatan kerja, ditekan menjadi 1,9 persen pada periode 2005-2009 dari periode sebelumnya yang mencapai 2,4 persen.
2. Pertumbuhan ekonomi ditingkatkan menjadi 6,0 persen pada periode 2005-2009 dari periode sebelumnya yang hanya mencapai 4,1 persen.
3. Mempercepat transformasi sektor informal ke sektor formal, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan, terutama di sektor pertanian, perdagangan, jasa dan industri.
Dengan adanya pernyataan beberapa ekonom yang mengatakan, kenaikan upah minimum akan menyumbang pengangguran sebesar satu persen, jelas menguntungkan pasar bebas itu. “Jumlah buruh di 2.665 perusahaan tekstil dan produksi tekstil serta terkait dengan industri tesktil dan produksi tekstil saja mencapai 4,7 juta. Belum di industri lainnya. Pertanyaannya, apakah hak upah minimum itu berkorelasi dengan pengangguran? Soal pengangguran itu jelas terkait dengan krisis ekonomi yang tidak bisa diselesaikan pemerintah. 62,5 persen pangsa pasar tenaga kerja itu ada di desa. Tidak ada korelasi, dan upah minimum bukan penyebab utama pengangguran. Tuntutan kesejahteraan buruh merupakan masalah yang penting dalam perkeonomian secara keseluruhan. Buruh memliki hak untuk hidup sejahtera sebagai masyarakat lainya yang memperoleh pekerjaan dalam berbagai sektor. Namun yang baru dapat diberikan oleh Negara dan perusahaan kepada kaum buru masih terbatas. Tanpa ada kemampuan yang didukung ekonomi nasional, jelas makin hari makin terjadi PHK, industri tidak bersaing sehingga terjadi deindustrialisasi. Tidak heran saat ini, banyak industri berubah menjadi trading, impor. Bagi pengusaha, itu tidak ada masalah. Tetapi bagi kelompok buru merupakan persoalan serius. Masalah ketenagakerjaan memang menjadi hal pokok dalam menggerakkan iklim investasi. Karena investor akan melihat, normatif ketenagakerjaan Indonesia termasuk tingkat upah minimumnya. Jika upah buruh naik, produktifitas tidak naik, maka tenaga kerja tidak mampu berkompetisi. Berdasarkan riset ILO (International Labour Organization) 2-3 tahun terakhir, lebih dari 60 persen angkatan kerja Indonesia ada di sektor informal. Sisanya, ada di sektor formal yang, bekerja di perusahaan, pegawai negeri dan lainnya dan memang mempunyai jaminan perlindungan. Setiap bulan mendapatkan gaji tetap, ada jaminan kesehatan dan lainnya. Namun tenaga kerja di sector Informal yang jumlahnya jelas lebih banyak ini, tentunya tidak mempunyai jaminan sama sekali satu perbandingan yang tidak sehat.
Celakanya, UU Ketenagakerjaan justru membuat pengusaha menutup perusahaannya yang kemudian menurunkan kesempatan meningkatkan penciptaan lapangan pekerjaan. Kemungkinan, tutupnya perusahan elektronik SONY dan DOSON yang memproduksi sepatu Reebok, akan diikuti juga perusahaan lainnya. Di sisi lain, kompetisi usaha Indonesiapun semakin menurun. Cina dan Thailand bukanlah kompetitor bagi Indonesia lagi. Bahkan, kemungkinan Indonesia justru akan dikejar oleh Vietnam, Laos dan Kamboja. Soal buruh dan pengusaha, sebenarnya banyak yang bisa dilakukan pemerintah, bukan sekadar mendapatkan win-win solution, tapi juga memperhatikan kepentingan publik. Satu contoh, pengusaha dan buruh perlu sepakat, untuk penggunaan keuntungan jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek), untuk kepentingan buruh dan pengusaha. Janganlah pemerintah mengambil deviden dari Jamsostek, tapi kembalikan ke buruh. Komponen pengeluaran besar buruh adalah penginapan dan transportasi. Dana Jamsostek yang surplus sekitar satu triliun rupiah bisa dikembalikan ke buruh dengan membangun perumahan buruh yang tersebar di sekitar sentra industri. Artinya, buruh bisa save biaya transportasi dan memberikan hidup yang lebih layak. Dana Jamsostek seharusnya bisa dijadikan solusi dalam hal kesejahteraan buruh. Tentunya masalah kesejahteraan buruh masih merupakan satu faktor dalam persoalan ketenagakerjaan di Indonesia. Namun demkkian fakta menunjukkan bahwa jumlah pengangguran terus bertambah. untuk menanggulangi masalah penganggur dan setengah penganggur, efek netto dari hasil pembangunan yang diperkirakan akan semakin baik di masa mendatang perlu didistribusikan kembali kepada masyarakat dalam berbagai bentuk, antara lain terciptanya kesempatan kerja produktif dan remunerative. Distrubusi pendapatan dapat dilakukan melalui peningkatan upah. Peningkatan upah dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja yang pada akhirnya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Untuk itu Indonesia perlu belajar dari pengalaman hasil penelitian pada beberapa Negara di dunia, yang menjadikan wage-led sebagai salah satu variabel utama dalam meningkatkan pertumbuhan, yang sekaligus dapat mengurangi tingkat pengangguran yang terus meningkat di Indonesia.
.

II. Wage Led Growth di Turky dan Korea Selatan

Salah satu hasil penelitian yang dilakukan di Turky dan Korea Selatan yang menganalisa hubungan antara distribusi, pertumbuhan dan unemployment . kedua Negara ternyata memberikan respons yang berbeda orientasi ekspor yang mendorong pertumbuhan. Hasilnya kedua Negara mempunyai pengalaman yang kontras yang menggunakan teori orthodox. Ozlem Onaren dan Engelber Stockhammer tahun 2000 melakukan penelitian tentan “Two Different Export-Orinted Growth Strategies Under a Wage-Led Acculation Regime di Turky dan Korea Selatan. Menurut Ozlem Onaren dan Engelbert Stockhmmer juga dipersentasikan setiap kecenderungan dari intergasi kedalam ekonomi dunia. Untuk itu dilakukan perbandingan antara kebijakan ekonomi yang berbeda diantara dua Negara didunia yaitu Korea Selatan mewakili Asia dan Turky mewakili Eropa. Dalam penelitian ini menguji akumulasi dari Wage led dari kedua Negara terhadap pertumbuhan atau growth, sesuai dengan pandangan post Keynesian tentang model open ekonomi. Pandangan post Keynesian mencakup pengendalian deman dipasar tenaga kerja, dan pengaruh dari Marxian Sense. Model ini diestimasi dengan bentuk struktur vector autoregression dan intersection simultan antara distribusi, akumulasi, pertumbuhan dan unemployment dengan pendekatan system. Model dan methode estimasi dengan dua inovasi untuk menganalisa isu-isu politik crusial yang berhubungan dengan problem structural pembangunan Negara sedang berkembang. Hasilnya menggambarkan bahwa penurunan wage share tidak mendorong akumulasi pertumbuhan dan unemployment bagi Negara-negara berkembang, seperti korea selatan yang mewakili Asia dan Turky mewakili Eropa. Oleh karena itu menurut Ozlem Onaren dan Engelber Stockhammer untuk itu sangat penting hubungan antara wage share dengan investasi, pertumbuhan dan unemployment. Wage share dan wage led mempunyai peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi suatu Negara. Sedangkan dalam analisa lain juga dilakukan analisa tentang hubungan antara gender wage inequality dan export led growth diu Korea Selatan. Hasilnya menunjukan gender Wage Gap dalam sector manufaktur . gende wage gap mencakup terdapat women’s segregation dalam Negara dengan industry yang berorientasi ekspor dimana wage led growth menghasilkan produktivity growth, atau produktivitas dalam pertumbuhan perusahaan dan juga ekspor. Meskipun kondisi pasar menguntungkan sehingga dapat meningkatkan women’s relative wage atau tingkat upah relative wanita terhadap laki-laki. Dalam intersection dengan Negara perusahaan dapat melakukan training dan promosi pelatihan yang praktis untuk membentuk struktur pekerja wanita dan laki-laki sehingga memperoleh kesempatan yang sama dipasar tenaga kerja. Hal ini untuk memperkuat posisi tenaga kerja wanita dalam pasar tenaga kerja. Hasil analisa ekonometrika menunjukkan adanya signifikansi dan konsistensi wage led dengan posisi tenaga kerja wanita dipasar tenaga kerja. Oleh karena itu mendukung hypothesis bahwa posisi wanita dalam pasar tenaga kerja memiliki bargaining power yang terbatas untuk meningkatkan produktivitas pertumbuhan. Oleh karena itu gender wage inequality sudah saatnya mendapat perhatian dalam meingkatkan pertumbuhan, baik terkait dengan pertumbuhan eskpor Korea Selatan maupun pertumbuhan ekonomi. Oleh Karena itu wage share dari tenaga kerja wanita yang lebih tinggi dapat mendorong peningkatan produktivitas yang pada akhirnya akan mendorong pertumbuhan ekspor dalam sector manufaktur maupun pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Penelitian yang sama juga dilakukan Berik G di Taiwan sesudah tahun 1980 dalam pasar ekspor yang ditandai dengan perubahan teknologi, peningkatan overseas investment bagi perusahan-perusahaan di Taiwan yang sukses dalam orientasi ekspor manufakur. Dalam pengembangan sektor manufaktur ternyata berhubungan dengan kesempatan kerja perempuan dan laki-laki yang bergerak kearah wage to salaried employment. Artinya bahwa tingkat upah menentukan tingkat pendapatan tenaga kerja. Untuk itu perlu peningkatan gender wage inequlity. Dengan menggunakan data panel dilakukan analisa tentang pengaruh restrukturisasi Taiwan selama periode gender wage inequality. Hal yang terpenting peningkatan orientasi dalam ekspor memberikan pengaruh signifikan man and women wage atau tingkat upa laki-laki dan perempuan seingga mengurangi gender wage inequality yang selama ini terdapat gap yang cukup besar. Sebab tenaga kerja perempuan merupakan capital untuk meningkatkan women’s wage yang dapat mendorong investasi langsung dalam bidang industry manufaktir di Taiwan.

III. Wage led growth di Jepang


Yashiro Naomitsu salah seorang penasehat Ekonomi pemerintah jepang melakukan analisa mengapa domestic demand mendorong pertumbuhan di Jepang. Pertumbuhan perdagangan dan industry di jepang rata-rata 1,3 % tahun 2007. Pertumbuhan tersebut selama 5 tahun terakhir. Teknologi ternyata sangat penting dalam zero growth, yang memberikan pengaruh terhadap GDP real tahun 2007 yang meningkat 1,3 % dibanding tahun 2006. Hal ini disebut juga Launch pad growth rate. Walaupun standar hukum di Jepang memperlihatkan wajah ekonomi Jepang yang fundamental sementara itu pertumbuhan fiscal tahun 2008 diperkirakan 2 %. Faktor utama adalah adanya lompatan investasi rumah tangga dan normalisasi dan konstruksi pembangunan ekonomi di Jepang. Skenario ini merupakan consensus ekonomi dari sector swasta private sektor. Sumber utama dari current economic recovery jepang terletak pada kekuatan eskpor yang turut mendorong pertumbuhan ekonomi global. Hasilnya terjadi peningkatan corporate earning yang melakukan ekspansi dalam investasi capital dan employment. Hal itu menyebabkan terjadinya translating kedalam peningkatan pendapatan rumah tangga dan private consumption. Tetapi private consumption merupakan kekuatan kedua untuk mendorong pertumbuhan perkapita dimana wage telah memberikan konstribusi yang sangat besar dalam pencapaian record profit tertinggi oleh perusahaan Corporate di Jepang. Pertumbuhan ekonomi Jepang tergantung pada ekspor. Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi Jepang di Amerika justru terjadi kelambanan pertumbuhan ekonomi Amerika. Tingginya harga minyak dunia menyebabkan perusahaan corporate Jepang memperoleh keuntungan yang sangat besar dari eskpor.


Domostic demand Led growth.

Domenstic demand –led growth di dorong oleh wage growth. Monthly Labor melakukan survey tentang tipe indekator wage yang dibutuhkan yang mendorong pertumbuhan. Wage merupakan kekuatan dalam mengatasi persoalan kesempatan kerja dan intensitas persaingan global. Hal ini sangat penting dan memberikan konstribusi bagi trend perkembangan wage dalam mengatasi problem structural dan pertumbuhan produktivitas tenaga kerja yang rendah dalam sector non manufaktur dan perusahaan kecil dan menengah. Di Jepang ternyata dalam sector non manufaktur mampu menyerap tenaga kerja 80 %, dari kesempatan kerja nasional. Dibanding dengan pertumbuhan produktivitas tenaga kerja yang rendah dalam sector industry manufacturing. Industri lebih bersifat labor intensive dari pada sector manufacturing. Selain itu juga memperlihatkan pertumbuhan yang lamban dari permintaan consumption rumah tangga, namun sector manufacturing memperoleh keuntungan dari ekspor akibat kenaikan harga minyak dunia. Tetapi perusahaan berskala kecil juga memiliki tingkat produktivitas tenaga kerja yang rendah dibandingkan dengan perusahaan besar, dengan skala ekonomi yang lebih besar. Pada tahun 2007 mempunyai kecenderungan wage yang meningkat sejalan dengan besar ukuran perusahaan. walaupun wage secara kontinyu memperlihatkan adanya lag dalam perusahaan besar yang mempekerjaan lebih 500 tenaga kerja, sedangkan perusahaan sedang mempekerjakan kurang dari 500 tenaga kerja. Setiap tahun terjadi peningkatan 0,1 % sampai 0,7 %. Perusahaan berskala kecil dengan 30 tenaga kerja ternyata menguasai 40 % dari kesempatan kerja di Jepang menyebabkan. Hal ini memperlihatkan bahwa 1,2 % dalam wage payment (pembayaran upah). Sebenarnya 90 % perusahaan kecil di Jepang bergerak dalam bidang non Manufacturing, yang memiliki tingkat produktivitas yang rendah, namun tingkat wage dalam sector ini tidak menjadi problem bagi perusahaan berskala kecil. Walupun sebelumnya produktivitas diperlukan dalam prusahaan kecil, tetapi di Jepang tidak tampak signifikansi produktivitas untuk menghambat perusahaan masuk keluar pasar.

Sebagai contoh di Amerika alasan fundamental bahwa pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh permintaan domestic (domestic demand) ternyata berbeda dengan kenyataan yang terjadi di Jepang.

Konstribusi pemerintah terhadap Domestic Demand-Led Economic Growth

Pemerintah Jepang mencoba memberi perhatian terhadap domestic demand-led growth, khususnya mendorong dalam private consumption. Beberapa kebijakan pemerintah Jepang mempengaruhi konsumsi rumah tangga yang mencakup temporary income tax yang terkait dengan kebijakan interest rate yang rendah. Pemerintah Jepang selalu menekankan pada kebijakan konsolidasi fiscal dan pertumbuhan ekonomi yang stabil. Kebijakan fiscal diperlukan untuk mendorong domestic demand led growth. Pemerintah Jepang mengakui bahwa peningkatan produktivitas tenaga kerja sangat penting. Hal itu karena produktivitas tenaga kerja terkait dengan industry jasa dan perusahaan berskala kecil sebagai element penting dalam strategi pertumbuhan. Tetapi secara actual pengukuran kebijakan didisain untuk mendukung struktur industri dalam mempertahankan eksistensi perusahaan. kebijakan fiskal juga untuk mendorong terjadi effisiensi didalam perusahaan, melalui promosi dalam persaingan di pasar dan skala ekonomi yang lebih baik. Sementara itu pengalaman Amerika tahun 1980, melakukan ekspansi untuk new economic atau ekonomi baru. Jepang juga harus melalu melakukan reformasi struktur untuk meningkatkan kinerja ekonomi walaupun kekuatankepemimpinan politik sangat penting tetapi efektivitas melakukan reformasi. Hal ini sangat penting bagi Jepang untuk memperkuat export demand selama lima tahun kedepan.
Sementara itu menurut Sensekno dan Asker dalam beberapa kasus ekonomi neoklasik tidak berdampak pada pengembangan ekonomi melalui profit-led. Dalam suatu obeservasi ternyata pengembangan pasar (mixed market) ekonomi dapat terjadi jika ada profit, sehingga mendorong investasi dalam meningkatkan capasitas industry baru. Hasilnya ternyata memberikan pengaruh yang rendah terhadap pertumbuhan ekonomi dimasa datang. Tetapi profit harus didukung dengan wage. Keynes mengatakan bahwa Wage-Led growth dapat digunakan untuk pengembangan suatu Negara untuk keluar dari stagnasi ekonomi dengan peningkatan profit semata. Dibutuhkan wage yang tinggi untuk menggerakan masyarakat bekerja dalam sector industry, dan berbagai sektor lain. Wage yang tinggi justru akan meningkatkan kualitas personil dan kualitas tenaga kerja. Selain itu dengan wage yang tinggi juga sangat penting bagi pengembangan ekonomi suatu Negara. Kendati demikian teori Profit-led dan Wage-led sangat terkait dengan.pertumbuhan ekonomi suatu Negara.
IV. The Dynamics of Profit and Wage led Growth

Sementara itu Amit Bhaduri dalam analisis multiplier tradisional, saving adalah variabel endogenous, sedangkan investasi adalah variabel exogenous, yang diuraikan melalui perubahan tingkat income. (Kahn 1972, Kalecki 1971, Keynes 1936). Sedangkan distribusi pendapatan menyebabkan adanya disparitas antara tingkat harga dan tingkat upah yang menyebabkan profit inflation. Kekuatan saving dari tenaga kerja, dan mekanisme multiplier menentukan tingkat output dan distribusi dimana investasi sama dengan saving, sehingga tercapai equilibrium. Masalahnya bagaimana menentukan tingkat variabel endogenous dan distribusi dari pendapatan. Secara sederhana diasumsikan bahwa output berada dibawah tingkat full employment. Pada tingkat full employment , harga meningkat lebih cepat dari tingkat upah sehingga mendekati inflationary gap. Persaoalan yang sama juga berhubungan antara The Larger equilibrium Model dengan permintaan Keynesian dalam menentukan equilibrium di pasar tenaga kerja, pasar uang dan pasar inventory. Tetapi bila mengikuti teori original dari Keynes, maka penelitian ini untuk menguji mekanisme multiplier dengan focus pada product market. Dengan melakukan revisi asumsi bahwa tingkat harga full employment dengan output full capacity akan mengikuti perubahan harga. Pendekatan ini menentukan tingkat distribusi pendapatan yang berubah secara simultan dengan kecapatan yang berbeda selama bekerjanya proses multiplier. Hasilnya karakteristik dari proses dynamic equilibrium partial yang mencakup dua adjustment equation yang berhubungan dengan pasar produk dan tingkat distribusi pendapatan. Analisis ini juga melihat analisis multiplier terhadap karakteristik situasi dengan two way feedback antara investasi dan saving pada satu sisi dan variasi capacity utilization dan distribusinya pada sisi lain. Dynamic interaction antara variabel memberikan meningkat dan diclasifikasikan sebagai suatu padangan untuk exploring kemampuan untuk merestor equilibrium investasi dan saving, dengan menampung perubahan kedalamnya.

Profit and Wage Led Equlibrium Locus

Dalam ekonomi tertutup redistribusi income antara profit dan wage mempengaruhi agregat demand melalui dua channel yang berbeda. Jika Propensity to comsume melebihi upah, maka income lebih tinggi dari profit income. Redistribusi income terhadap upah mengalami depresiasi terhadap total pengeluaran konsumsi, tetapi pada waktu lain, pengeluaran investasi menyebabkan profit share yang diperloleh lebih tinggi, dan kontradiksi dengan pengaruh depresiasi dari konsumsi yang rendah terhadap permintaan agregat. Hal itu tergantung pada dominasi pengaruh dari expantion demand led, yang didominasi oleh pengeluaran konsumsi yang besar, dengan tigkat upah riel yang tinggi serta share profit yang rendah. Hal ini yang disebut dengan wage led. Wage led terjadi karena kasus yang mendominasi yaitu pengeluaran investasi yang besar lebih tinggi dari profit share dan upah riel yang rendah. Hal ini adalah formulasi yang penting terhadap dua variabel yang mendorong terciptanya full capacity (Y). menurut asumsi klasik tidak terdapat friksi upah. Constant fraction (1>s>0) dari profit yang disebut saving. Kondisi normal saving dalam economics adalah
S= s.h.z, 1≥ z , h ≥ 0, (1)
Dimama h = share profit dalam output . Y = degree of capacity utilization. Y* = tingkat normalitas dari full capacity output. Untuk menguji interaksi antara investasi dan saving terhadap tingkat output dan distribusi pendapatan, diasumsikan bahwa investasi yang normal (I) memberikan pengaruh positif terhadap dua variabel expektasi Z dan h yang diasumsikan sebagai iklim business yang kondusif. Sesuai konvensi rule (Keynes 1937), dan bentuk expektasi dimasukan kedalam current state dimasa datang. Untuk itu maka fungsi investasi dapat ditulis sebagai berikut :
I=I (s,h), Iz >0, dan Ih > 0. 2.
Total diferensiasi 1 dan 2 dengan kemiringan atau slop locus equilibrium dari persamaan saving –investasi atau kurva IS dalam h-z sebagai berikut
dz / dh = (Ih - sz) / (sh - Iz). (3) 3
sepanjang kurva IS equilibrium menunjukkan slop kemiringan positif artinya bahwa profit share lebih tinggi (h) adalah kumpulan dari equilibrium dengan capacity utization yang lebih tingg (z).Karakteristi dari posisi equilibrium profit share dan hubungannya dengan posisi wage led equilibrium. Hal ini dikenal dengan convergence dari satu variabel output dirubah melalui proses multiplier, agar memenuhi syarat saving yang lebih responsive terhadap perubahan investasi income sesuai kondisi stability Keynesian.
(sh - Iz) > 0. (4)

Stability

Ketika persamaan investasi dan saving disatukan maka posisi kurva IS equilibrium pada titik z dan h. perbandingan kurva IS yang ditandai dengan pergerakan sepanjang kruva IS menyebabkan variabel z atau h merupakan parameter kebijakan dengan nilai Exogenous yang tetap. Pengaruhnya mengurangi sistem dynamic untuk variabel tunggal (sungle variable). Menurut Keynes income menentukan capacity utilization (z)
Yang menyebabkan ekses demand dalam pasar produk. Dalam kasus ini persamaan berubah menjadi persamaan explicit sebagai berikut
dz /dt = α [ I( h, z) - shz ] , α > 0, 5
dimana α adalah positif speed dari variabel exogenous ,
Jika income distribution juga dipengaruhi oleh variabel endogenous, maka tingkat hara dan tingkat upah meningkat pada tingkat disparitas yang memberikan respons terhadap equilibrium dipasar produk. Dengan tingkat upah yang dinamis mempengaruhi permintaan agregat dipasar produk. Dan posisi inventori perusahaan ditentukan oleh kondisi unemployment dan tingkat bargaining power dipasar tenaga kerja. Hal ini memberikan respons terjadinya disequilibrium investasi-saving. Untuk itu perlu penambahan persamaan berikut :

dh / dt = β [ I( h, z) - shz ], > 0, atau < 0 . (6)

persamaan ini menurut argumentasi Keynes. Namun Ekonom Neo-klasik melakukan interpretasi terhadap teory Keynes. Menurut Kelompok Neo Klasik bahwa ekses demand dalam p;asar produk mendekati tingkat output yang lebih tinggi akan menghasilkan profit maximum perusahaan, dengan tingkat upah yang rendah.
Equilibrium profit maximum menujukkan kekuatan saving dari tenaga kerja. Hal ini menurut Keynes disebut sebagai money illution atau unantipated inflation (friedmen 1968). Kekuatan saving terkait dengan tenaga kerja dalam kasus β > 0. hal ini karena tingkat upah riel dapat meningkatkan share profit sehingga memberikan resposn terhadap ekses demand dalam pasar produk, yang berarti (I > S). tetapi hal ini sangat bertentangan dengan kasus profit squeeze oleh perusahaan. digambarkan oleh
β < 0 dalam kasus tingkat upah meningkat lebih tinggi dari tingkat harga. Hasilnya upah riel meningkat tetapi profit share menurun. Hal ini juga memberikan respons terhadap ekses demand dipasar produk. Tetapi out of equilibrium diatur oleh peraturan. Dimana nilai output mempengaruhi tingkat laku out-equilibrium yang ditunjukkan oleh persamaan berikut
dz /dh = α / β. α > 0, β > 0 or β < 0. (7)
diaman α > 0 dan β > 0, menggambarkan nilai z dan h meningkatkan variabel endogenous dan memberikan resposn terhadap ekses demand di pasar produk. Sedangkan output equilibrium dynamic menunjukkan adanya profit dengan kekuatan saving dari tenaga kerja. Pada sisi lain jika α > 0, tetapi β < 0, akan memberikan pengaruh pada excess of investment dari kelebihan saving yang dikendalikan h and z dengan arah yang berbeda. Dan out-ofequilibrium dynamics ditentukan wage-led dengan profit squeeze (Goodwin, 1967). Oleh karena itu he equilibrium and the out-of-equilibrium menunjukkan slope pada variabel h. dan z.

Wage-led in-equilibrium; profit-led out-of-equilibrium

Dibawah garis , I > S pada out terendah ( low output) (Is – sh ) <> 0. Hal ini disebut kondisi equilibrium dengan Wage led in dan Profit-led out equilibrium dan dapat dilihat dapat dilihat pada diagram 1.
Diagram 1. Wage led in Equlibrium dan Profit led Out Equilibrium


Sebagai catatan bahwa semua fase dalam diagram 1-6 diklasifikasikan sebagai profit-led drowth dan Wage led growth dengan membuat tanda panah dari slop atau kemiringan kurva IS. Dengan demikian terjadi in equilibrium dan out equlibrim dengan pergerakan arah dari setiap fase yang direncanakan.seperti terlihat dalam Diagaram 2.


Diagram 2 : Profit-led in Equilibrium : Wage-led Out Of Equilibrium

Di bawah garis I > S pada output yang rendah (Is – sh) <> 0. Output meningkatkan sehingga tercapai stabilizing semenatara profit juga stabilizing : > 0,

Kecapatan relative The relative magnitudes of the speeds dimasukan kedalam stability condition merupakanm cara yang penting dalam untuk menghasilkan stability property.
Dalam kasus stability condition mencakup product terms yaitu
(Is – sh ) z dan (Ih – sz) 8
Ternyata memberikan tanda berlawanan dengan jarak kecepatan relative (relative magnitudes of speed), yang merupakan titik kritis dan menentukan tanda serta arah dari pergerakan dalam kurva IS. Ketika kecenderungan (term) menunjukkan arah negative dari nilai positif , maka perlu dilakukan injeksi agregat demand untuk menuju ke arah ke kondisi stabil ( satisfy stability condition) . Dalam hubungan ini menggambarkan bahwa hubungan antara pergerakan equilibrium didalam dan diluar profit led dan wage led yang juga membutuhkan terms of behavior dari exess demand (I > S) atau supply (I <> S) atau r deficit (I <> S), kondisi stabil yang diminta adalah ekses demand mendorong peningkatan saving yang diperoleh melalui investasi yang meningkat.
Sementara itu Keynesian stability condition diperlihatkan oleh equilibrium IS regime adalah profit-led menurut kemiringan kurva IS pada diagram 4. Dalam kasus net leakage meningkat akan mendorong peningkatan yang lebih tinggi pada profit share. Jika diasumsikan profit share β > 0 . hal ini mendekata large to close dengan excess investment gap, seperti saving yang meningkat lebih cepat lebih cepat dari investasi ini merupakan areal profit-led. Sebaliknya saving yang demikian cepat akan menyebabkan excess demand gap sehingga menurunkan profit share dan dilain pihak wage-led regime sebagai system stabilisasi. Oleh karena itu diperlukan qualifikasi investasi yang meningkat dari saving , namun profit share menurun. Sedangkan Wage Led Growth yang ditandai denga kemiringan positif wage led justru lebih mendorong pertumbuhan sehingga terjadi keseimbangan baru.seperti terlihat pada Diagram 3..

Diagram 3 : Profit-led in- and out-of-equilibrium

Dibawah garis , I > S pada output terendah. (Is - sh ) <> 0. Output meningkat dan mengarah ke stabilizing dengan kekuatan saving dan terjadi destabilizing



Diagram 4 : Profit led in- and out-of-equilibrium


Diatas garis , I > S pada output tertinggi : (Is - sz ) >0 atau profit share rendah ( Ih – sz) < 0.
Output meningkat namun terjadi destabilizing dengan kekuatan saving kembali kearah stabilizing dimana > 0, > 0


Pada semua phase 3-6 menunjukkan model umum stabilitas. Besarnya kecepatan relative menggambarkan panjang (jarak) dari anak panah vertical dan horizontal. Sekaligus sebagai pengendalian slop (kemiringan) yang relevan dengan lintasan output equilibrium. seperti cara untuk titik istirahat dari kurva IS dalam kasus Stable, yang ditunjukkan oleh anak panah yang lebih padat (solit). Sedangkan unstable ditunjukkan oleh anak panah bergerak dalam kurva IS yang ditunjukkan oleh anak panah yang hancur atau broken arrows. Sesuatu yang penting dan Kontraks dengan geometri kasus stable yang jelas digambarkan dalam diagram 3-6. Sedangkan untuk kasus unstable yang tidak jelas digambarkan oleh diagram 1 dan 2. Kasus tersebut merupakan pergerakan diluar keseimbangan ( out of equilibrium movement.) yang berlawanan arah dengan profit dan wage-led growth.


Diagram 5 .Wage-led in- and out-of-equilibrium

Dibawah Kurva IS I > S pada titik output terendah Iz −sh >0 atau profit share yang rendah juga: Ih –sz <> 0 dan < 0.

Diagram 6 : Wage-led in- and out-of-equilibrium

Diatas garis , I > S pada output tertinggi : (Iz – sh) ) > 0 Iz −sh >0; or profit share tertinggi : (Ih - sz ) >0 . Output meningkat terjadi destabilizing, dengan profit squeeze terjadi stabilizing. Ternyata arah anak panah berlawanan dengan dibawah kurva IS.

Comparative static exercises

Pentingnya perbandingan static exercises dalam hubungannya dengan posisi equilibrium , dan terjadi equilibria yang Kontinyu disepanjang kurva IS. Slop kurva IS terjadi out of equilibrium slop. Dari kondisi stabilitas equilibrium. Perbandingan static exercise menggunakan property beberapa parameter pada locus kurva IS.
Dalam kasus stabilitas untuk return to the IS curve.

summing-up with observations

Dengan focus terhadap pasar produk dalam partial equilibrium, dan paper ini menguji convergensi dari proses multiplier terhadap variabel output dan distribusi pendapatan dan reaksi dengan perubahan investasi (I) dan saving (S). pendekatan ini diasumsikan bahwa S dan I tergantung pada h dan z menyebabkan , sehingga terjadi gap antara pengaruh I dan S. karakteristik profit dan wage led regime, juga diterima oleh wage range yang dipengaruhi oleh distribusi pendapatan, yang memberikan arah turun dan naik sesuai wage rate. Sedangkan kekuatan saving merupakan bagian dari tenaga kerja untuk memperoleh money illuition, yang tidak anticipated terhadap inflasi. Ketergantungan nilai dari variasi parameter , merupakan analisis formal untuk membangun kekuatan saving dan profit squeeze yang dapat mendorong stability dengan tercapainya equilibrium oleh kekuatan investasi dan saving.

V. Penerapan Kesehatan dan Keselamatan Kerja Dorong Pertumbuhan
Ekonomi di Indonesia.

Tanggal 26 Juni 2008 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengatakan, pemerintah terus melanjutkan komitmennya untuk mendorong pelaksanaan sistem manajemen kesehatan dan keselamatan kerja (SMK-3) di lingkungan perusahaan maupu instansi pemerintah. Penerapan SMK-3 memberikan sumbangan yang jelas untuk pertumbuhan ekonomi. Penerapan SMK-3 merupakan bagian dari upaya perbaikan tingkat kesejahteraan tenaga kerja yang harus disertai dengan perbaikan tingkat upah. Pemerintah Indonesia telah menetapkan tingkat upah minimum regional dan tingkat upah minimum Provinsi. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong produktivitas tenaga kerja dan perusahaan yang pada akhirnya dapat menigkatkan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Oleh karena itu perlu perbaikan tingkat upah tenaga kerja di Indonesia. Berbicara dalam acara peringatan Hari Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) Dunia atau World Day for Safety and Health at Work di Istana Negara Jakarta. Kepala Negara menyatakan, ada keterkaitan yang erat antara keamanan kerja dengan produktivitas kerja serta pertumbuhan ekonomi. "Kita ingin terus meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan pekerja kita seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain pemerintah mendorong agar pengangguran berkurang semakin berkuran. Menurut Presiden, pemerintah mendukung penuh upaya peningkatan perlindungan tenaga kerja dan juga pengurangan pengangguran dengan memberikan lapangan pekerjaan bagi warga yang belum bekerja. Namun harus pula diikuti dengan dorongan untuk pertumbuhan sektor riil, sehingga memberikan manfaat nyata bagi masyarakat berupa kesejahteraan. Kasus kecelakaan kerja di Indonesia dari tahun ke tahun semakin menurun. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) menunjukkan bahwa angka kecelakaan kerja di Indonesia terus turun, di mana pada 2006 tercatat 95.000 kasus dan pada 2007 menurun menjadi 65.000 kasus. Untuk itu, Kepala Negara mengingatkan para pengusaha dan instansi pemerintahan untuk mengembangkan dan melaksanakan SMK-3. Dalam hal ini, pemerintah pusat maupun daerah akan mengeluarkan peraturan yang mendukung pelaksanaan SMK-3. Perusahaan juga, setelah memiliki sistem manajemen K-3 yang baik, harus memberikan pelatihan dan pengawasan yang baik pada pekerjanya, sehingga sistem itu bisa berjalan. Sementara itu, Mennakertrans Erman Suparno mengatakan, data dari lembaga internasional menyebutkan jumlah kecelakaan kerja di seluruh dunia mencapai 270 juta kasus. Indonesia sendiri menargetkan penurunan jumlah kecelakaan kerja setiap tahunnya seiring sejumlah upaya yang dilakukan Depnakertrans. Sejak penerapan sistem manajemen K-3 pada 1996, respons positif dari kalangan pengusaha maupun pekerja sudah membuahkan hasil. Diharapkan hal tersebut terus berlangsung sehingga menekan angka kecelakaan kerja. Penerapan SMK-3 di setiap perusahaan atau tempat kerja perlu mendapat perhatian dari semua pihak. Ini sesuai denghan amanat Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Penghargaan SMK-3 diberikan Pemerintah Indonesia kepada 12 Duta Besar Negara asal investor asing, yakni Jepang, Amerika Serikat, Australia, Prancis, Korea Selatan, Swiss, Jerman, Belgia, Inggris, Belanda, Swedia, dan Malaysia. Selain itu juga untuk sejumlah perusahaan 7 multinasional, yaitu PT Epson Batam, PT Vetco Gray Indonesia, PT Bintang Toedjoe, Coca Cola Bottling Indonesia, PT Perkebunan Nusantara III (Persero), PT Wijaya Karya Beton, PT PLN (Persero). Penghargaan juga diberikan untuk sejumlah menteri yang turut menyukseskan pelaksanaan SMK-3, yakni Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Kehutanan, Menteri Kesehatan, Menneg BUMN, Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri Perhubungan, Menteri Energi dan Sumber Daya Menteri (ESDM), Menteri Kebudayaan dan Pariwisata serta Menteri Dalam Negeri. Selain itu untuk 3 gubernur, yaitu Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Timur, dan Gubernur Sumatera Utara. Para pemimpin daerah ini menunjukkan peran serta aktif dalam mendukung penerapan dan sosialisasi SMK-3.


VI . Wage Gap antara Blue Collar Wokers dan White Collar Wokers
Dalam Sidang APEC.

Liberalisasi ekonomi yang dilakukan saat ini oleh APEC telah menimbulkan sejumlah Kritik terhadap APEC sudah dikemukakan sejak sidang pertama di Bogor pada tahun 1994, dan sidang di Philipina tahun 2007. Terdapat perbedaann pandangan bahwa APEC hanya memajukan kepentingan negara-negara industri ma-ju, khususnya Amerika Serikat dan Jepang yang mengalami defisit dalam perdagangan dengan negara-negara berkembang dan semi-industrialized di Asia-Pasifik. Liberalisasi perdagangan dan jasa yang ditawarkan melalui APEC tidak banyak artinya, karena perdagangan antarnegara di wilayah Asia-Pasifik sudah terjadi dan terus berkembang tanpa APEC.
Melihat krisis ekonomi dan politik yang melanda berbagai negara Asia Tenggara, seperti Thailand dan Indonesia, APEC adalah kerangka yang dipaksakan dari luar, dan tidak mencerminkan kepentingan negara-negara yang dilanda krisis. Misalnya saja agenda liberalisasi di sektor finansial justru akan memperparah krisis finansial yang sekarang sedang melanda wilayah ini, dan di pihak lain mem-berikan keuntungan besar bagi para spekulan dan pemain pasar uang yang berasal dari negara-negara industri maju. Agenda liberalisasi sektor jasa (finansial) juga merupakan cermin kekalahan negara-negara industri maju yang tidak mampu lagi bersaing di sektor perdagangan barang. Secara ringkas, kritik terhadap berbagai lapisan dan dimensi dalam APEC terlihat sebagai berikut:
Pemisahan antara Ekonomi dan Masalah Sosial. Pembicaraan dalam APEC terpusat pada pengembangan ekonomi yang cenderung mengabaikan adanya masalah-masalah sosial, politik, hak asasi manusia, keseteraan dan lainnya. Masalah pembangunan berkelanjutan yang sangat menekankan pentingnya dimensi lingkungan hi-dup, hak asasi manusia, kesetaraan dan kemakmuran rakyat, boleh di-bilang terhapus dari agenda APEC.
Pemusatan Perhatian pada Perdagangan. Tema sentral dalam APEC adalah perdagangan, dan kemakmuran negara-negara diukur seberapa jauh mereka dapat 'bermain dalam pasar'. Ini sejalan dengan agenda ekonomi negara-negara berkembang yang menekankan pentingnya ekspor, tapi cenderung melupakan kondisi ekonomi nasio-nal, sehingga terjadi kesenjangan sangat besar antara sektor yang berorientasi pada persaingan interna-sional dan perekonomian masyarakat luas.
Mitos Pertumbuhan Menuju Ke-makmuran. Dalam paham neo-liberal, pertumbuhan dipercaya mendorong pembangunan masyarakat secara menyeluruh (social development). Bukti-bukti dari negara Asia-Pasifik sendiri memperlihatkan betapa pertumbuhan terjadi tanpa pemerataan (growth without prosperity).
Liberalisasi Pasar Uang dan Modal. Gejolak matauang di negara-negara Asia-Pasifik adalah peringatan bahwa liberalisasi pasar uang dan modal hanya akan meningkatkan spekulasi perda-gangan uang. Keuntungan dari 'uang panas' (hot money) berakibat melemahnya nilai sejumlah mata uang terhadap dolar. Di samping itu pemerintah akan sulit menetapkan kebijakan moneter dalam situasi yang tidak menentu, apalagi untuk mengiringi program pembangunan berkelanjutan dan berwawasan sosial.
Swastanisasi Pembangunan Infra-struktur. Sidang-sidang APEC sangat menekankan pentingnya swastanisasi dalam pembangunan infra-struktur seperti rumah sakit, saluran air, pendidikan, tenaga listrik dan lainnya. Swastanisasi berarti berku-rangnya subsidi atau sokongan pemerintah dan meningkatkan harga-harga di sektor ini.
Mekanisme Pengambil Keputusan dan Kesepakatan yang Tertutup. Selama tiga tahun berlangsungnya, sidang-sidang APEC senantiasa tertutup bagi pihak lain, dan akses terhadap dokumen, keputusan dan kesepakatan penting dalam forum ini sangat dibatasi. Pemerintahan negara-negara anggota juga tidak melakukan konsultasi dengan sektor-sektor dalam masyarakat sebelum mengambil keputusan, sehingga accountability-nya sangat dipertanyakan.
Di samping berbagai kritik ini, para ahli juga melihat kelemahan lain dari pemberlakuan liberalisasi perdagangan dan investasi seperti dicanangkan dalam APEC. Salah satu masalah seriuns adalah meningkatnya kesenjangan di antara blue-collar workers dan white-collar workers, yang tercermin dalam perbedaan tingkat upah yang sangat besar. Liberalisasi pasar uang dan modal jelas akan melipatgandakan jumlah spekulan yang diawaki 'tenaga ahli' dengan gaji besar karena keuntungan yang cepat dan berlipat.
Arus aliran barang dan uang yang begitu cepat di bawah rezim liberalisasi juga membuat modal makin independen dari kekuatan produktif, yaitu tenaga kerja. Bargaining position dari buruh, yang tergabung dalam serikat buruh maupun tidak akan melemah secara drastis, karena modal dapat mengalir ke sana ke mari tanpa hambatan, termasuk dari serikat-serikat buruh. Kompetisi internasional juga diperkirakan akan menekan tingkat upah dan standar taraf hidup, dan karena bargaining position yang lemah - akibat berlakunya sistem kerja kontrak, ketidak-pastian status dan pelemahan lainnya - serikat-serikat buruh tidak dapat berbuat banyak. Perbedaan tingkat upah juga terjadi antara tenaga kerja dinegara-negara berkembang dengan di Negara maju. Dinegara berkembang tingkat upah rendah. Sedangkan dinegara maju tingkat upah sangat tinggi, sehingga terdapat wage gap yang sangat besar antara tingkat upah dinegara maju dan Negara berkembang. Negara-negara maju mengekploitasi tingkat upah yang rendah dinegara berkembang untuk kepentingan Negara maju. Itulah sebabnya produktivitas tenaga kerja dinegara berkembang lebih rendah dibanding Negara maju. Oleh karena itu wage gap yang besar antara Negara maju dan Negara perlu diperkecil dalam rangka mendorong Negara-negara berkembang di Asia Pasifik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, melalui perbaikan tingkat upah atau Wage-led growth.
Di pihak lain, ada juga yang ber-anggapan bahwa liberalisasi perdagangan dan investasi di bawah APEC atau rezim internasional lainnya adalah hal yang positif, karena akan men-dorong proses pertumbuhan ekonomi, perbaikan taraf hidup akibat dikikisnya high-cost economy dan kemakmuran bersama. Di samping itu ada anggapan kecenderungan pengaruh negara yang semakin berkurang digeser sektor swasta yang akan memberi peluang bagi bertumbuhnya civil society yang semakin kuat. Hal yang jadi masalah adalah bagaimana memasukkan agenda kepentingan sosial-ekonomi masyarakat luas di dalam sidang-sidang APEC, agar kesepakatan yang dikeluarkannya tidak bertentangan dengan kepentingan yang paling dasar itu.




VI. Kesimpulan


1. Indonesia perlu belajar dari penelitian yang dilakukan di Korea Selatan, Turky dan Jepang, yang menghasilkan Wage-led memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan. Selama ini terdapat Wage Gap yang cukup besar antara tingkat upah di Negara berkembang dengan Negara maju. Itulah sebabnya produktivitas tenaga kerja di Negara berkembang lebih rendah dibanding Negara maju.
2. Di Korea Selatan dan Turky Wage led dapat meningkatkan distribusi pendapatan yang lebih baik antara tenaga kerja dengan masyarakat lainnya, melalui kekuatan saving dan investasi. Untuk itu wage led- wage share memiliki peranan yang cukup penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi suatu Negara. Selama ini padangan bahwa profit-led perusahaan yang menjadi variabel utama yang mempengaruhipertumbuhan. Padangan tersebut mulai bergeser ke Wage led yang juga dapat meningkatkan pertumbuhan melalui peningkatan produktivitas.
3. Semenatara itu di Jepang domestic demand ikut mendorong pertumbuhan ekonomi. Hal ini dilihat dengan terjadinya lompatan investasi rumah tangga dan normalisasi konstruksi pembangunan di Jepang. Profit-led juga mempengaruhi pertumbuhan tetapi harus didukung dengan wage-led.
4. Profit dan Wage led dapat menciptakan stabilitas ekonomi disuatu Negara, karena merupakan variabel cukup berperan dalam meingkatkan produktivitas yang pada akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi.
5. Wage led growth juga harus dibaringi dengan perlindungan dan peningkatan kesejahteraan tenaga kerja, sehingga dapat berperan positif dalam meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan secara keseluruhan.

DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. Amit Bhaduri, On Dynamics of Profit and Wage Led Growth, Working Papers,
The Vienna Institute For International Economic Studies.
2. Yoshiro Yaomitsu, The Japanase Economiy On Thin Ice.
3. Ozlem Onaren, Engelber Stockhammer (2000) , Wage Led Growth at Turkyen
and South Korea.
4. Suara Karya, Kesehatan dan Keselamatan kerja, Penerapan SMK-3 dorong
Pertumbuhan Ekonomi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar