Sabtu, 07 Maret 2009

EKONOMI POLITIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN

1.1. KRISIS PANGAN DUNIA

Indadanyaonesia, yang dikenal sebagai Negara agraris, ternyata rapuh dalam soal ketahanan pangan. Itu terbukti dalam laporan UN World Food Program (WFP), dan (FAO). Dua lembaga PBB yang mengurusi pangan itu mengungkapkan, akibat kenaikan harga minyak yang menebus US $ 115 per barel, menyebabkan harga pangan Dunia meroket hingga rata –rata 40%. Lonjatan harga ini terjadi pada komoditas beras, jagung, dan kedelai. Harga jagung bahkan mencapai rekor tertinggi dalam 11 tahun terakhir. Begitu juga harga kedelai, yang mencetak rekor puncak dalam 35 tahun terakhir .
WFP pun menyebutkan, pada saat itu stok beras dunia mencapai titik terendah, sehingga mendorong harga kelevel tertinggi selama 20 tahun terakhir. Sedangkan stok gandum berada di titik nadir selama 50 tahun terakhir. Menurut prediksi FAO, 36 negara di kawasan Afrika, Asia dan Amerika latin mengalami krisis pangan, termaksud Indonesia. Global Information and Early Warning System yang di bangun FAO menyabutkan, Indonesia termaksud Negara yang membutuhkan bantuan Negara luar dalam mengatasi krisis itu, selain Indonesia, di kawasan Asia ada delapan Negara lagi yang mengalami krisis pangan. Yakni Irak , Afganistan, Korea Utara, Bangladesh, Nepal, Pakistan, Sri Lanka, dan Timor Leste. Selain dipicu kenaikan harga bahan pangan,, krisis pangan juga disebabkan karena adanya konflik, banjir, gempa, dan perubahan iklim. Krisis pangan yang dimulai dari lonjakan harga pangan Dunia itu pun mengancam Negara Dunia ketiga yang tidak memiliki kekuatan ekonomi seperti Negara – Negara maju.
Padahal, di saat yang sama, produksi beberapa komoditas pangan dunia mengalami peningkatan. Produksi gandum dunia yang harganya naik pada awal 2008 ini ternyata mengalami peningkatan hingga 9,34 juta ton antara tahun 2006 dan 2007. Sedangkan produksi gula dunia meningkat sebesar 4,44 juta ton sepanjang tahun lalu.
Angka cukup mencegangkan ditunjukkan pad produksi jagung, yang tahun 2007 mencapai rekor produksi 781 juta ton atau meningkat 89,35 juta ton dari total produksi tahun sebelumnya. Hanya kedelai yang mengalami penurunan produksi sebesar 17 %. Itu pun karena ada penyusutan lahan di Amerika Serikat sebesar 15 % untuk proyek giofuel. Sejumlah kalangan memprediksi, gejolak harga komoditas pangan dunia belum mereda hingga akhir 2008. Para spekulen dan pemilik modal bakal terus memainkan harga di bursa komoditas global. Aksi borong masih mewarnai sejumlah komoditas pangan, seperti gandum, kedelai, gula dan jagung .
Krisis pangan benar-benar menjadi momok yang bergentayangan. Lembaga-Lembaga Internasional menghadapi kecemasan akibat krisis ini. Kondisi genting pangan tersebut ternyata terhampar dibanyak Negara menjadi krisis yang mengglobal dan terbesar dalam abad ke 21. Krisis pangan menimpah 36 negara di dunia yang terparah dikawasan Asia. Demikian laporan dari Badan pangan Dunia (FAO).
Stock besar dunia akan mencapai titik terendah dan hal itu akan mendorong harga pada level yang lebih tinggi dalam 20 tahun terakhir. Harga seluruh komoditas pangan meningkat pada angka fantastis dibandingkan denga tahun 2000 yakni mencapai 75%. Misalnya beras putih US $ 274,67 per ton meningkat menjadi US $ 324,8 per ton atau meningkat 18,25 %. Gandung meningkat sangat tajam dari US $ 180,01 menjadi 374,45 per ton atau meroket 108,02 %. Harga Jagung naik dari US $ 53,98 per ton menjadi UD $ 80,3 per ton. Bahkan lonjatan harga beberapa komoditas pangan lain meningkatkan lebih dari 200 %.
Inilah buah dari proses pembangunan Negara-negara berkembang, ketika berbagai Negara berkiblat pada sistem industry sebagai lokomotif mereka dengan mengabaikan perkembangan industry pangan. Strategi ini cukup berhasil karena pertumbuhan industry melejit dengan cepat, meski menimbulkan sejumlah persoalan yaitu pengangguran, ketimpangan pendapatan.
Di Asia kubangan masyarakat miskin semakin banyak, terbukti diantara 850 juta penduduk miskin didunia, 600 juta diprediksi tersebar di Asia. Hal itu terjadi karena melejitnya kawasan Asia sebagai Negara industry baru (new Industry), sementara sebagian besar masyarakat Asia adalah pelaku pertanian. Kebijakan pemerintah di Negara-negara Asiapun, semakin jauh dari aroma pertanian. Kebijakan pemerintah di Negara-negara Asia lebih berpihak pada pertanian. Lahirnya Negara-negara industry baru di Asia seperti Korea selatan, Taiwan juga ikut menunjang krisis pangan dunia.
Bila kita lihat sejarah ketikan lokomotif pembangunan diletakan pada rel skctor pertanian gerbong kemajuan sektor lain turut melaju, pada tahun dekade 1970-an merupakan salah satu era keemasan bagi petani. Peningkatan gandum akibat terbosan teknologipertanian, diiringi peningkatan pengeluaran Negara untuk pendidikan di pedesaan, telah berhasil mendorong kemajuan dipedesaan. Bahkan, meski terjadi penurunan luas lahan karena pertumbuhan penduduk, sektor tersebut masih bisa tumbuh dengan di versifikasi tanaman dari padi ke non padi dan pertenakan, seperti yang terjadi pada penduduk pedesaan di Filipina, Thailand, Banglades, dan India.
Kebijakan yang berpihak kepada petani pada era itu telah melajirkan kegiatan ekonomi yang terjadi pada baru, seperti transpotrtasi , perdagangan, jasa-jasa, dan usaha kerajinan. Selain itu, bermunculan usaha skala menengah dan kecil. Kegiatan tersebut menyumbangkan 51 % dari total pendapat warga pedesaan. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada era itu merupakan masa keemasan ketika kebijakan yang berpihak kepada petani dapat mengurai permasalahan penganguran dan bermuara pada pengetesan kemiskinan. Hal itu berlangsung selama empat dekade. Penurunan angka kemiskinan dari kebijakan yang berpihak kepada petani sangat besar pada tahun 1990 satu miliar penduduk asia yang hidup dibawah garis kemiskinan dapat diuapkan menjadi 614juta. Ke depan, pengurangan jumlah penduduk miskin di pedesaan itu agak mengkhawatirkan. Asia tidak lagi memiliki kebijakan propedesaan seperti dekade 1970 –an. Sebagai indicator penurunan sumbangan 32 % merosot tinggal 13 % pada tahun 2005 Masalah krisis pangan sebenarnya tergait tiga hal. Yaoitu produksi pangan, luas lahan, dan tata niaga pangan. Momok krisis pangan sekarang ini bila kita lacak adalah akibat kegagalan tata niaga pangan global. Negara maju dengan perjanjian – perjanjian dagang begitu getol memaksa Negara – Negara berkembang untuk membuka pasar. Tetapi, ironisnya, subsidi yang digelontorkan Negara maju untuk memproteksi sector pertanian semakin besar. Bahkan, subsidi sector pertanian di Negara maju mencapai USD 350 miliar per tahun . Fakta itu kian disempurnakan dengan adanya dengan kertegantugan Negara – Negara berkembang dengan impor pangan dari Negara maju meningkat tajam 25 tahun terakhir. Misalnya, pada tahun 2000, total impor pangan Negara – Negara berkembang mencapai USD 60 miliar, termaksud USD 25 miliar diantaranya mengalir ke Negara – Negara yang berpendapat paling rendah .
Ketergantungan tehadap perdagangan pangan internasional dari waktu ke waktu kian kuat. Indonesia untuk menutupi kebutuhan pangan mengimpor 5-10 % dari total kebutuhan pangan, Malaysia mengimpor 35 % dari total kebutuhan pangan mereka, , atau Filipina yang menutupi 16-20 % kebutuhan pangan dengan perdagangan luar negeri. Krisi pangan yang hadir menunjukan bahwa tesis tentang pasar bebas itu tidak berlaku untuk keselamatan umat manusia, terutama dalam hal pangan. Dengan sistem kebijakan dan praktek tersebut, keberadaan pangan bergantung kepada pasar internasional dan, saat terjadi perubahan pola – pola produksi – distribusi – konsumsi – faktor cuaca, dampaknya langsung dapat dirasakan.

1.2 Krisis Pangan di Indonesia

kebijakan Negara berkembang yang mendukung poros pasar bebas harus dicermati kembali, betapa laju perdagangan bebas ternyata juga menentang petaka. Krisis pangan adalah masalah klasik bangsa ini, sebuah ironi bagi negara agraris yang tanahnya subur. Krisis pangan saat ini terjadi dimana kebutuhan pangan Indonesia telah tergantung kepada impor, dan harganya naik tak terkendali. Namun harus diperhatikan, bahwa krisis pangan yang terjadi di Indonesia bukanlah sebab yang akan berdampak pada hal lain (kemiskinan, pengangguran). Fenomena ini adalah sebuah akibat dari kebijakan dan praktek privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi sebagai inti dari Konsensus Washington. Privatisasi; Akar dari masalah ini tidak hanya parsial pada aspek impor dan harga seperti yang sering didengungkan oleh pemerintah dan pers. Lebih besar dari itu, ternyata negara dan rakyat Indonesia tidak lagi punya kedaulatan, yakni kekuatan dalam mengatur produksi, distribusi dan konsumsi di sektor pangan. Saat ini di sektor pangan, kita telah tergantung oleh mekanisme pasar yang dikuasai oleh segelintir perusahaan raksasa. Privatisasi sektor pangan yang notabene merupakan kebutuhan pokok rakyat—tentunya tidak sesuai dengan mandat konstitusi RI, yang menyatakan bahwa “Cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.Faktanya, Bulog dijadikan privat, dan industri hilir pangan hingga distribusi (ekspor-impor) dikuasai oleh perusahaan seperti Cargill dan Charoen Phokpand. Mayoritas rakyat Indonesia jika tidak bekerja menjadi kuli di sektor pangan, pasti menjadi konsumen atau end-user. Privatisasi ini pun berdampak serius, sehingga berpotensi besar dikuasainya sektor pangan hanya oleh monopoli atau oligopoli (kartel)—seperti yang sudah terjadi saat ini.
Liberalisasi; krisis pangan juga disebabkan oleh kebijakan dan praktek yang menyerahkan urusan pangan kepada pasar (1998, Letter of Intent IMF), serta mekanisme perdagangan pertanian yang ditentukan oleh perdagangan bebas (1995, Agreement on Agriculture, WTO). Akibatnya negara dikooptasi menjadi antek perdagangan bebas. Negara ini pun melakukan upaya liberalisasi terhadap hal yang harusnya merupakan state obligation terhadap rakyat. Market access Indonesia dibuka lebar-lebar, bahkan hingga 0 persen seperti kedelai (1998, 2008) dan beras (1998). Sementara domestic subsidy untuk petani kita terus berkurang (tanah, irigasi, pupuk, bibit, teknologi dan insentif harga). Di sisi lain, export subsidy dari negara-negara overproduksi pangan seperti AS dan Uni Eropa—beserta perusahaan-perusahaannya—malah meningkat. Indonesia pun dibanjiri barang pangan murah, sehingga pasar dan harga domestik kita hancur (1995 hingga kini). Hal ini jelas membunuh petani kita.
Deregulasi; beberapa kebijakan sangat dipermudah untuk perusahaan besar yang mengalahkan pertanian rakyat. Seperti contoh UU No. 1/1967 tentang PMA, UU No. 4/2004 tentang Sumber Daya Air, Perpres 36 dan 65/2006, UU No. 18/2003 Tentang Perkebunan, dan yang termutakhir UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal. Dengan kemudahan regulasi ini, upaya privatisasi menuju monopoli atau kartel di sektor pangan semakin terbuka. Hal ini semakin parah dengan tidak diupayakannya secara serius pembangunan koperasi-koperasi dan UKM dalam produksi, distribusi dan konsumsi di sektor pangan. Dengan sistem kebijakan dan praktek ini, Indonesia kini tergantung kepada pasar internasional (harga dan tren komoditas). Maka saat terjadi perubahan pola-pola produksi-distribusi-konsumsi secara internasional, kita langsung terkena dampaknya. Kasus kedelai 2008 ini sebenarnya bukanlah yang pertama, karena ada kasus-kasus sebelumnya (beras pada tahun 1998, susu pada tahun 2007, dan minyak goreng pada tahun 2007). Hal ini akan sedikit banyak serupa pada beberapa komoditas pangan yang sangat vital bagi rakyat yang masih tergantung pada pasar internasional: beras, kedelai, jagung, gula, singkong dan minyak goreng.Krisis pangan di awal tahun 2008 ini menunjukkan bahwasanya pasar bebas itu belum dapat mendorong keselamatan umat manusia—terutama dalam hal pangan. Bahkan sejak aktifnya perdagangan bebas ini dipromosikan WTO, angka kelaparan di dunia semakin meningkat dari 800 juta jiwa (1996) menjadi 853 juta jiwa (2007).Oleh karena itu, Serikat Petani Indonesia (SPI), dan di tingkat internasional La Via Campesina sudah dengan tegas menyatakan agar WTO keluar dari pertanian (1996-sekarang). Dan untuk jangka panjang, petani menuntut dilaksanakannya pembaruan agraria dalam rangka basis kebijakan agraria dan pertanian.Dalam jangka pendek dan menengah, masalah krisis pangan sebenarnya terkait dengan 3 hal—yakni (1) produksi pangan; (2) luasan lahan; dan (3) tata niaga pangan. Dengan memperhatikan ketiga hal tersebut, maka petani menuntut solusi jangka pendek kepada pemerintah. Mematok harga dasar pangan yang menguntungkan petani dan konsumen. Harga tidak boleh tergantung kepada harga internasional karena tidak berkorelasi langsung dengan ongkos produksi dan keuntungan. Harga harus sesuai dengan ongkos produksi dan keuntungan petani dan kemampuan konsumen Memberikan insentif harga kepada petani komoditas pangan (terutama beras, kedelai, jagung, singkong, gula dan minyak goreng) jika terjadi fluktuasi harga. Hal ini sebagai jaminan untuk tetap menggairahkan produksi pangan dalam negeri.
Mengatur kembali tata niaga pangan. Pangan harus dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Bulog bisa diberikan peran ini, tapi harus dengan intervensi yang kuat dari Departemen Pertanian, Departemen Perdagangan dan Departemen Keuangan.
Menambah produksi pangan secara terproyeksi dan berkesinambungan, dengan segera meredistribusikan tanah objek landreform yang bisa segera dipakai untuk pertanian pangan.
Menyediakan insentif bagi petani komoditas pangan, terutama bibit, pupuk, teknologi dan kepastian beli
Memberikan dukungan pelembagaan organisasi petani komoditas pangan, yakni kelompok tani, koperasi, dan ormas tani
Kondisi itu berimbas pada situasi pangan di Indonesia. “ ketahanan pangan di Indonesia sangat rentan karena negeri ini masih mengandalkan bahan pangan dari impor, “ pemerintah tidak memiliki insentif impor yang memandai, seperti diterapkan tiongkok dan india . bahkan, Manajemen pangan di Indonesia kini makin Amburadul. Yang terjadi pada saat ini adalah manajemen panik, sehingga memerlukan biaya tinggi karena tidak ada perencanaan stok dan distribusi bahan pangan. Jika tidak segera ditata secara terpadu, krisis pangan di negeri agraris ini menjadi sebuah ironi, ibarat tikus mati di lumbung padi.
FEnomena menyedihkan ini akibat kebijakan dan praktek privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi sebagai inti Konsesus Washington. Pada 1998 , pemerintah menyerahkan kedaulatan pangan kepada pasar bebas akibat tekanan WTO. Akibatnya petani sawah (padi), jagung, kacang kedelai, dan buah – buahan hancur semua. Dengan adanya kebijakan pasar bebas, perusahan menggenjot produksi pangan yang berorentiasi ekspor. Akibatnya, surplus pangan dari Negara – Negara maju berbalik kepasar nasional. Di saat yang sama, pemerintah malah menggenjot produksi hasil perkebunan berorientasi ekspor, seperti terjadi pada tata niaga CPO. Produksi tanaman pangan di dalam negeri pun jadi terbengkalai. Negara dan rakyat Indonesia tidak lagi punya kedaulatan untuk mengatur produksi, distribusi dan konsumsi sektor pangan. Sektor pangan sangat tergantung pada mekanisme pasar yang dikuasai segelintir perusahaan raksasa.

1.3. Harga Kedelai Meningkat

Meningkatnya harga kedelai dalam beberapa bulan terakhir telah membuat rakyat panik. Dalam hal ini, rakyat miskin adalah pihak yang paling terpukul, tahu dan tempe yang selama ini menjadi makanan pengganti daging harganya melambung tinggi. Bagaimana tidak, harga kedelai Januari 2007 telah meningkat lebih dari 200 persen dibanding bulan yang sama tahun sebelumnya. Hingga saat ini harga kedelai ada di kisaran Rp. 7.800/Kg, ini harga tertinggi sejak 24 tahun terakhir.. Gejolak harga kedelai disebabkan oleh masalah klasik yakni turunnya produksi dalam negeri dan naiknya harga di pasar global. Namun sejauh ini tidak ada pembuat kebijakan yang melihat akar permasalahan mengapa produksi nasional turun dan mengapa harga di tingkat global bisa melambung. Menurut catatan BPS pada tahun 2006 produksi kedelai nasional mencapai 747.611 ton, pada tahun 2007 turun menjadi 608.263 ton. Di sisi lain, peningkatan impor kedelai naik 6,7 persen setiap tahunnya. Ada banyak penyebab turunnya produksi kedelai nasional diantaranya gagal panen, menciutnya lahan tanaman pagan, dan bencana alam. Namun yang paling vital adalah dikarenakan kebijakan yang keliru. Tahun 1999, Pemerintah dengan kebijakan pasar bebasnya mulai membuka keran impor kedelai dan menurunkan bea masuk. Saat itu pasar nasional dibanjiri kedelai impor, akibatnya harga kedelai di tingkat petani tertekan, petani banyak yang merugi, kebijakan tersebut membuat petani hengkang dari budidaya kedelai. Keadaan seperti ini diperparah dengan kebijakan pembangunan pertanian yang keliru. Pemerintah lebih mengutamakan usaha-usaha agrobisnis perkebunan yang berlahan luas seperti kelapa sawit, disisi lain pembangunan tanaman pangan terbengkalai. Sedangkan infrastruktur irigasi tidak lagi dibangun bahkan yang sudah ada pun tidak dipelihara sehingga kuantitas dan kualitasnya menurun. Sementara itu, jumlah lahan pertanian pangan terus menyusut dan tidak dijalankannya pembaruan agraria. “Hingga saat ini janji pemerintah untuk membagi-bagikan lahan kepada petani melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) tidak ada perwujudannya. Akibatnya petani sudah tidak tertarik lagi menanam kedelai karena tidak adanya insentif bagi petani untuk menanam kedelai dan harga kedelai dipasar tidak bisa menutupi ongkos produksi. Menyangkut solusi gejolak harga kedelai saat ini, memang harus segera diadakan operasi pasar untuk menurunkan dan menyetabilkan harga. Namun secara jangka panjang kita harus berswasembada kedelai karena kedelai yang ada di pasar dunia tidak akan mencukupi kebutuhan Indonesia jikalau produksi nasional terus turun. Untuk mencapai swasembada itu ada tiga hal utama yang harus dilakukan pemerintah, pertama, segera melaksanakan pembaruan agraria. Kedua, membangun infrastruktuir di pedesaan seperti irigasi dan jalan-jalan desa bukan hanya jalan tol saja yang dibangun. Ketiga, tegakkan kedaulatan pangan dengan cara berswasembada dan melepaskan ketergantungan terhadap mekanisme pasar bebas.
Kenaikan harga kedelai di pasar dunia yang mencapai US$ 600 per ton, diakibatkan oleh orientasi pembangunan yang salah. Isu biofuel yang digembar-gemborkan selama ini telah menyebabkan harga bahan baku seperti kedelai dan CPO meningkat karena permintaan industri pengolahan biofuel terhadap bahan-bahan pangan meningkat. Sementara itu, di Amerika Serikat sendiri para petani sudah beralih dari tanaman kedelai ke tanaman pemasok biofuel lainnya. Di AS pada tahun 2007 terjadi penurunan luas penanaman kedelai dari 75,5 juta acre menjadi 63,7 acre atau turun 15% yang menyebabkan produksi kedelai turub sebesar 19%. Dan, Indonesia sendiri sangat tergantung pada AS, 70% kebutuhan kedelai nasional dipasok dari AS, Argentina dan Cina. Mengenai kebijakan pemerintah menurunkan tarif impor kedelai sampai 0% pada hari ini, Henry berkeyakinan hal tersebut tidak akan membantu. “Saat ini harga kedelai naik hingga 200 persen lebih, mana mungkin dengan menurunkan tarif impor dari 10% menjadi 0% bisa efektif menurunkan harga

II. Pemerintah Mengeluarkan Kebijakan Izin Expor Beras

Aturan izin ekspor beras tersebut tertuang dalam Permendag no.12/ M-DAG / PER/ 4/ 2008 tentang ketentuan impor dan ekspor beras tertanggal 11 april 2008. Menurut pemerintah melalui menteri Perdagangan masyarakat tidak perlu khawatir mengenai stok beras yang diperkirakan lebih dari cukup untuk keperluan dalam negeri. Harga beras saat ini juga berada pada posisi stabil dan bahkan cenderung menurun.Tapi dengan mengantisipasi perkembangan terakhir dan melonjaknya harga beras dunia, pemerintah menganggap perlu melakukan ekspor. Dengan mekanisme yang serupa pada tingkat surplus 3 juta ton dan harga di bawah tertentu, pemerintah menginsinkan ekspor melalui bulog. .Untuk beras kentan pulut dengan pos tarif atau HS 1006,- 30.30.00 ekspor dapat dilakukan oleh perusahan eksportir setelah memperoleh persetujuan dari dirjen perdagangan luar negeri atas nama Mendag dengan memperhatikan rekomendasi dari dirjen pengolahan dan pemasaran hasil pertanian dari Departemen Pertanian.
Kedua rekomendasi tersebut merupakan dokumen persyaratan dalam pengajuan permohonan tertulis pada mendag melalui dirjen luar negeri. Selain persyaratan surat izin usaha perdagangan (SIUP) dan tanda daftar perusahn (TDP). Untuk keperluan tertentu seprti pengadaan benih dan untuk kesehatan serta konsumsi khusus atau segmen tertentu dapat dilaksanakan oleh importer yang telah mendapatkan persetujuan impor dari dirjen perdagangan luar negeri atas nama Mendag berdasarkan rekomendasi dirjen pengolahan dan pemasaran hasil pertanian Departemen Pertanian . Selain rekomendasi tersebut importer wajib melengkapi persyaratan berupa foto copy angka pengenal Importir Umum , fotocopy nomor pengenaan Importir khusus beras, Fotocopy NPWP dan Fotocopy nomor Identitas Kepabeanan ditambah surat pernyataan dari bank devisa mengenai kemampuan financial perbankan untuk mendukung penerbit l/c.
Untuk kebutuhan industry sebagai bahan baku penolong yang berasnya belum dapat sepenuhnya dihasilkan dari dalam negeri, selain harus memiliki angka pengenal importer produsen atau APIT serta persyaratan yang sama seperti untuk benih, dan untuk kesehatan atau dietery serta konsumsi khusus atau segmen tertentu, beras dimaksud dilarang diperjualbelikan serta dipindahtangankan. Menurut Presiden Repu blik Indonesia Susilo Bambang Yudoyono dalam pidatonya tentang krisis pangan dunia mengatakan kondisi produksi beras nasional tahun ini cukup baik dan terus meningkat. Tahun depan produksi beras juga akan lebih ditingkatkan. Indonesia saat ini telah mencapai surplus produksi, sehingga sebagian dapat diekspor untuk kepentingan nasional.

2.1. Kontroversi Impor Beras

Kontroversi seputar impor beras kembali meruncing setelah pemerintah mengambilkeputusan impor beras. Kita mempertanyakan kelayakan pertanian, khususnya padidi Indonesia. Ada dua faktor, yaitu kondisi pasar beras dunia dan perlindungansosial yang dibangun melalui good governance, membentuk cara pandang terhadapmasa depan padi diIndonesia. Pertama, struktur pasar beras di level international dimana Indonesia adalah salah satu negara pengkonsumsi beras terbesar. Ekspansi beras sebagai makanan pokok sangatlah kuat walaupun di beberapa wilayah di Indonesia Timur masyarakatnya mengkonsumsi umbi-umbian. Beras, secara sosiologis, kemudian identik sebagai symbol kemakmuran. Produksi padi Indonesia menyumbang 8,5% dari total produksi dunia. Pada saat yang sama, impor beras kita menyumbang 13,5% dari produksi dunia.Bandingkan dengan Bangladesh dengan kontribusi produksi sekitar 3,4% tetapi mengimpor 4,5% dari total produksi dunia. Hal ini mengindikasikan kebutuhan pangan Indonesdia masih berada dalam keadaan siaga. Jika produksi beras dunia meningkat maka bencana kekurangan pangan di dalam negeri bukan suatu kemustahilan.Dalam konteks global, ketersediaan beras sesungguhnya lebih dari mencukupi,yaitu 21,8 metrik ton (MT), sedangkan permintaan beras untuk impor hanya 8,5MT. Berdasarkan hitungan di atas kertas, tidak ada masalah antara ketersediaanberas dan permintaannya. Namun terlihat dalam perbandingan jumlah negarapengekspor dan importir beras bahwa struktur pasar beras dunia sangat rentan. Solusi Jangka Pendek Amerika Serikat, Thailand, India, Vietnam, China dan Pakistan adalah 6 negara pengekspor beras utama. Sedangkan negara importir lebih banyak yakni Uni Eropa,Brasil, Iran, Saudi Arabia, Bangladesh, Federasi Rusia, China, Jepang, danIndonesia. Oleh karena itu dalam keadaan misalnya bencana alam, perang saudara menimpa salah satu negara pengekspor, kehadiran pemain impor baru akan mempengaruhi ekspektasi harga internasional terhadap permintaan yang tiba-tiba ini. Alhasil, harga beras akan melonjak tajam sehingga mudah diduga dampaknya terhadappemenuhan pangan nasional. Harganya akan naik dan menimbulkan krisis baruakibat merosotnya cadangan devisa yang dipakai untuk impor.
Pada masa Orde Baru, beras digunakan sebagai alat stabilisasi sosial politik.Disediakan dengan harga murah demi menekan kerawanan sosial di tingkat bawah. Pada saat yang sama petani mendapat subsidi sebagai insentif berproduksi. Pasca krisis ekonomi 1997, pemerintah mencabut berbagai macam subsidi yang berkaitandengan pertanian Lalu lembaga seperti Bulog yang awalnya berperan sebagai stabilisator,tidak bisa berbuat banyak menghadapi harga beras yang berfluktuasi. Solusi yang ditawarkan akhirnya lebih bersifat jangka pendek dan mengikuti mekanisme pasar, yakni impor beras sebagai solusi akhirnya menempatkan petani sebagai aktor yang paling rentan. Ini bisa dipahami sebagai proses interaksi antar komponen yang menyebabkan manusia berada dalam keadaan terancam jiwanya. Dalam jangka panjang interaksi ini membentuk berbagai tingkat kesiapan menghadapi bencana.Wisner mendefinisikan komponen tersebut, yaitu kekuatan danketahanan mata pencarian, kondisi dan kesejahteraan sosial, perlindungan dirisendiri, perlindungan sosial dan tata pemerintah yang baik (good governance).Mata pencaharian petani merupakan perlindungan dasar yang dimiliki dalam skala rumah tangga dan jangka pendek. Posisi petani masih sangat rawan terutama jika terjadi perubahan kebijakan pemerintah.
Perlindungan sosial adalah tanggung jawab pemerintah karena mencakup skala yang lebih luas.Fakta dilapangan menunjukkan pemerintah telah gagal memberikan perlindungan kepada petani.Sebab, kebijakan impor beras sama saja dengan mematikan ruang gerak petani. Sebagai syarat tercapainya perlindungan sosial tadi, dibutuhkan political will dan pelaksanaan tata pemerintahan yang baik. Pada titik ini, belum ada kemauan untuk sungguh-sungguh memperbaiki sektor pertanian. Kebijakan impor beras benar-benar bertolak belakang dengan pencanangan program revitalisasipertanian,perikanan dan kehutanan.Keterbukaan proses pengambilan keputusan merupakan suatu keharusan. Bulog dapat dikatakan telah melakukan kebohongan publikmenyangkutprosespengirimanberas impor dari Saigon. Walaupun akhirnya pengiriman ini dibatalkan hal ini mengandung implikasi ada aktor kuat yang berideologi pasar sedang bermain-main dengan nasib petani Dengan kata lain, celah-celah kelemahan institusi dalam mengatur pasar dapat dimanfaatkan untuk memuluskan kerja sama demi mengeruk keuntungan pribadi. Masa depan pertanian padi di Indonesia tetap relevan terutama dikaitkan dengan konteks perubahan global. Ketersediaan stok dipasar internasional bukan jaminan kebutuhan nasional terpenuhi.Produksi beras dalam skala gobal ditentukan oleh banyak faktor yang sama sekalidi luar kendali kita. Yang mungkin dan mampu kita kendalikan adalah memperkuatdeterminan ketersediaan beras dalam negeri. Ketimpangan akses terhadap lahandan persoalan alih fungsi lahan pertanian merupakan agenda panjang yang harusdipecahkanbersama. Daripada mengimpor beras, pemerintah lebih baik memperbaiki distribusifaktorproduksi, terutama tanah dan menata rel kebijakan agar sejalan dengan program revitalisa.

2.2. Kebijakan Beras Nasional

Dalam menentukan kebijakan perberasan nasional, pemerintah tidak cukup melakukannya hanya dengan menetapkan harga pembelian pemerintah (HPP). Diluar kebijakan tersebut, adanya jaminan ketersediaan pupuk, benih berkualitas, irigasi, dan transportasi pasca panen, juga diperlukan dalam menentukan arah kebijakan yang bertujuan menolong petani. Presiden Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Fadhil Hasan di Jakarta, (16/04/08), kepada Kompas mengatakan, bila faktor-faktor nonharga itu dipenuhi, maka komponen biaya produksi beras akan dapat ditekan. Keberhasilan pemerintah menekan komponen biaya produksi yang selama ini membebani petani itu akan berimbas pada harga beras di tingkat konsumen. Pemerintah tidak akan bisa menyelesaikan debat antara petani dengan konsumen jika kurang memerhatikan kebijakan nonharga tersebut. padahal, tingginya komponen biaya produksi itu yang jadi persoalan petani. Ironisnya, persoalan teknis ini belum diperhatikan. Pemerintah sibuk mengutak-atik kebijakan ekspor beras, Sementara itu Dirjen Tanaman Pangan Departemen Pertanian Soetarto Ali Muso mengatakan, dalam upaya membantu petani, tahun ini pemerintah memberikan bantuan benih lokal kepada petani senilai Rp 1,4 triliun yang terdiri atas benih padi, jagung, dan kedelai. ”Distribusinya langsung diberikan kepada petani dan sudah dimulai awal tahun ini,” ujarnya

2.3. Kebijakan Fiskal sangat di Perlukan.

Perekonomian Indonesia Sejak triwulan IV tahun 2007 hingga awal tahun 2008, diperngaruhi oleh situasi perekonomian global yang mengalami ketidakstabilan. Kondisi ini dipicu oleh trend peningkatan harga minyak mentah yang cukup tajam ke arah yang membahayakan keseimbangan kegiatan perekonomian dunia. Kemudian dalam waktu yang bersamaan, terjadi krisis perumahan (subprime mortgage) di Amerika Serikat (AS) dan pelemahan nilai tukar mata uang dolar AS terhadap beberapa mata uang internasional. Krisis subprime mortgage berdampak lebih jauh hingga menyebabkan timbulnya gejolak di pasar keuangan AS dan diperkirakan akan memperlambat laju pertumbuhan ekonomi AS di tahun 2008. Dalam era globalisasi saat ini dan signifikannya pengaruh perekonomian AS pada perekonomian dunia, maka gejolak perekonomian di AS tersebut telah menyebabkan timbulnya gejolak di pasar keuangan negara-negara di dunia, terjadi perubahan kepemilikan institusi keuangan dunia pasca subprime, dan mengakibatkan pertumbuhan ekonomi dunia juga turut mengalami perlambatan. Kondisi lainnya yang terjadi di pasar dunia adalah trend meningkatnya harga komoditas primer, terutama pangan, seperti crude palm oil (CPO), beras, dan kedelai yang akhirnya menimbulkan tekanan inflasi pada negara-negara pengimpor komoditas primer tersebut.Perubahan ekonomi global di atas mempengaruhi perkembangan perekonomian di dalam negeri, baik di pasar keuangan, ekonomi makro, maupun besaran APBN tahun 2008. Di pasar keuangan dalam negeri, terjadi gejolak di pasar modal, sehingga IHSG sempat mengalami penurunan cukup besar di awal tahun 2007, walaupun kinerja pasar modal Indonesia masih lebih baik dari pada kinerja kebanyakan pasar modal negara lainnya. Kemudian net buying asing terhadap obligasi negara juga cenderung menurun dalam beberapa bulan terakhir sampai dengan Januari 2008.
Pada indikator ekonomi makro, tingkat inflasi tahun 2007 sedikit mengalami tekanan sehingga realisasinya mencapai 6,6%, dan di bulan Januari 2008 sebesar 1,77%. Pertumbuhan ekonomi dalam tahun 2007 dapat mencapai targetnya sebesar 6,32%, namun dalam tahun 2008 mengalami revisi penurunan menjadi sekitar 6,4% dari rencana awal 6,8%. Sejalan dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi dalam tahun 2007 dibandingkan dengan tahun 2006, indikator pendukung pertumbuhan juga lebih baik, seperti konsumsi rumah tangga, impor barang modal, investasi (PMDN & PMA), pertumbuhan kredit investasi & KMK, serta total ekspor.Dari sisi APBN, dalam tahun 2008 Pemerintah mengajukan percepatan perubahan APBN 2008 dengan memperlonggar defisit APBN 2008 menjadi 2% PDB, sejalan dengan arah kebijakan fiskal untuk memacu stimulus pembangunan sejak tahun 2005. Di sisi lain, rasio utang pemerintah dapat terus diturunkan dari 67% PDB pada tahun 2002 menjadi 33% PDB pada tahun 2008. Dalam periode 2004 – 2008, penerimaan perpajakan terus mengalami peningkatan. Tax ratio dapat terus ditingkatkan, dari sekitar 12% PDB dalam tahun 2004 menjadi sekitar 14% PDB di tahun 2008. Pencapaian ini didukung dengan kenaikan penerimaan perpajakan non migas rata-rata di atas 20% dalam empat tahun terakhir. Di sisi belanja negara, dalam periode yang sama, belanja Kementerian/Lembaga juga mengalami peningkatan dari sekitar Rp186 triliun pada tahun 2004 menjadi sekitar Rp272 triliun pada tahun 2008, walaupun telah mengalami pemotongan dalam RAPBN-P 2008. Demikian juga belanja ke Daerah, semakin meningkat seiring dengan kebijakan desentralisasi fiskal, dari Rp129,7 triliun dalam tahun 2004 menjadi sekitar Rp284,8 triliun pada RAPBN-P 2008. Selain itu, Pemerintah Daerah juga semakin cepat dalam menyampaikan RAPBD. Sampai dengan akhir Januari 2008 tercatat sekitar 200 Pemda yang menyelesaikan RAPBD-nya.Untuk membiayai defisit dalam beberapa tahun terakhir ini, komponen pembiayaan dari dalam negeri telah semakin dominan, dengan variasi instrumen surat berharga negara yang lebih beragam. Hal ini didukung dengan kedisiplinan Pemerintah dalam menjaga kepercayaan pelaku pasar uang dan pasar modal, serta meningkatnya peringkat Indonesia berdasarkan penilaian lembaga rating internasional.
Untuk mendorong kegiatan di sektor riil, peran kebijakan fiskal juga sangat dibutuhkan. Di sektor Migas telah diberikan insentif fiskal, antara lain dalam bentuk pembebasan bea masuk atas impor barang untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi serta panas bumi. Kemudian juga PPN ditanggung Pemerintah atas impor barang untuk kegiatan usaha eksplorasi hulu minyak, gas bumi dan panas bumi, serta PPh usaha panas bumi. Di bidang penanaman modal dan kelancaran arus perdagangan internasional, insentif fiskal diberikan dalam bentuk pemberian fasilitas PPh untuk penanaman modal, insentif perpajakan dan kepabeanan di Batam, Bintan, dan Karimun, pembebasan dan keringanan bea masuk barang modal untuk industri, penurunan tarif bea masuk wilayah perdagangan bebas ASEAN-Korea dan Indonesia-Jepang, serta penurunan tarif PPh perusahaan yang masuk bursa.
Dalam rangka menjaga stabilisasi harga pangan pokok, dukungan fiskal diberikan dalam bentuk Pemerintah menanggung PPN atas minyak goreng, tepung terigu, dan kedelai, serta pembebasan/penurunan bea masuk beras, kedelai, dan tepung terigu. Selain itu, telah diberikan pembebasan bea masuk atas impor bibit dan benih, pembebasan PPN untuk barang-barang impor yang bersifat strategis, serta membebaskan PPN Rusunami.Dalam kerangka pembangunan infrastruktur, dilakukan juga kebijakan fiskal untuk mendukung pembentukan dana investasi pemerintah guna pembiayaan pembebasan tanah trans Jawa dan JORR melalui BPJT-PU dan pembentukan dana penjaminan untuk menampung risiko harga tanah jalan tol Trans Jawa dan JORR apabila harga tanah melampaui batas harga yang ditetapkan pemerintah. Dalam kerangka yang sama, kebijakan fiskal juga diluncurkan untuk membantu proyek pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW yang diperkirakan menelan investasi sebesar US$8 miliar. Sedangkan untuk membantu pembiayaan UMKM, Pemerintah telah meningkatkan penyertaan modal pada PT Askrindo dan SPU.
Untuk mendukung reformasi keuangan negara yang dilandaskan kepada UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, sejak tahun 2007 Departemen Keuangan telah melakukan langkah reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi dimaksud meliputi berbagai aspek, yaitu penataan organisasi, penyempurnaan proses bisnis, peningkatan disiplin dan manajemen sumber daya manusia, serta perbaikan renumerasi. Penataan organisasi di Depkeu difokuskan kepada peningkatan pelayanan kepada masyarakat dengan pembentukan Kantor Pajak Modern, berfungsinya Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea & Cukai (di Tanjung Priok dan Batam), dan berfungsinya Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Prima. Melalui reformasi birokrasi, peningkatan pelayanan di Ditjen Pajak ditunjukkan dengan semakin cepatnya penyelesaian NPWP dari semula 3 hari kerja menjadi 1 hari kerja, dan permohonan keberatan penetapan pajak yang semula 12 bulan menjadi 9 bulan. Di bidang Kepabeanan, peningkatan pelayanan ditunjukkan dengan semakin cepatnya waktu pemeriksaan barang, yaitu dari semula 48 jam menjadi 12 jam untuk Jalur Merah, dan dari 4 jam menjadi hanya 30 menit untuk jalur hijau. Bappepam-Lembaga Keuangan juga telah mempercepat pendaftaran emiten/perusahaan publik, dari semula 45 hari kerja menjadi 35 hari kerja, dan pendaftaran akuntan pasar modal, dari semula 45 hari kerja menjadi 21 hari kerja. Ditjen Kekayaan Negara telah mempersingkat proses eksekusi lelang dari semula 47 hari kerja menjadi 34 hari kerja. Sedangkan untuk lelang non eksekusi dipercepat prosesnya, dari semula 27 hari kerja menjadi 10 hari kerja. Proses revisi satuan anggaran per Satuan Kerja yang dilaksanakan oleh Ditjen Anggaran semakin terukur, yang semula belum ada pedoman waktunya menjadi 5 hari kerja. Sedangkan proses penelahaan dan pengesahan DIPA Pusat oleh Ditjen Perbendaharaan sebagian besar telah dapat diselesaikan pada akhir bulan Desember. Selain itu, untuk penerbitan SP2D, prosesnya semakin cepat, dari semula 1 hari kerja menjadi hanya 1 jam.
Departemen Keuangan juga telah melakukan penertiban rekening pemerintah yang sampai dengan 31 Desember 2007 hasilnya sebagai berikut: (i) rekening disahkan penggunaannya secara permanen/sementara tercatat sejumlah 26.553 buah dengan nilai Rp19,25 triliun dan US$679,49 juta, (ii) status rekening ditutup dan disetor ke Kas Negara berjumlah 1.308 buah dengan nilai Rp6,25 triliun dan US$5,67 juta, (iii) status rekening akan ditutup oleh Menkeu berjumlah 4.785 buah dengan nilai Rp10,32 triliun dan US$6,87 juta, dan (iv) rekening perlu diinvestigasi lebih lanjut tercatat sebanyak 3.078 buah dengan nilai Rp6,9 juta dan US$12,29 juta.
Melalui langkah reformasi birokrasi, pelayanan yang diberikan oleh Depkeu telah cukup berhasil meningkatkan tingkat kepuasan masyarakat. Hasil survey yang dilakukan oleh lembaga independen menunjukkan bahwa 63,6% responden menyatakan puas, 29,4% cukup puas, dan 6,9% menyatakan tidak puas terhadap pelayanan yang diberikan oleh berbagai unit di Departemen Keuangan sejak reformasi birokrasi di tahun 2007. Departemen Keuangan telah menetapkan sasaran di tahun 2008 dan 2009 yang kinerjanya terukur melalui Key Perfomance Indicator (KPI) Departemen Keuangan. Di antaranya melalui peningkatan akurasi proyeksi indikator ekonomi makro, peningkatan penyerapan DIPA kementerian/lembaga, penyelesaian penilaian barang milik negara, perpanjangan durasi jatuh tempo surat berharga negara, dan kenaikan Rating Indonesia. Hal itu untuk mendukung pencapaian target peningkatan perekonomian nasional ke depan. Harga kedelai sejak bulan oktober tahun lalu meroket tajam hingga150%.dari sekutar 2800-an hingga sekarang jadi 7500. Pedagang tahu tempe melancarkan demo dan aksi mogok di depan istana negara (mogoknya 3hari) karena merugi alasannya 1, gara2 kebijakan impor yang membuat pemerintah terlena. waktu petani panen, harga kedelai jatuh, gara2 pemerintah ga berpihak pada rakyat, bukannya menjaga harga petani, eh malah impor (mentang2 impor murah) sekarang petani ogah menanam komoditi kedelai dan lebih memilih jagung yang keuntungannya bisa mencapai100%. Jadilah Indonesia tercinta ini tergantung dengan Amerika (gara2 terlena dengan impor kedelai tersebut) disamping itu juga kita rugi gara-gara ambil kredit dari sana. Namanya sudah tergantung, dengan enaknya negara eksportir kedelai (Amerika) mainkan harga jadilah negara kita terpaksa membeli kedelai dengan harga mahal.. langkah antisipasi pemerintah sekarang malah meniadakan pajak impor.

2.4. Kebijakan Stabilisasi harga

Dalam jangka pendek pemerintah mengfokuskan diri pada kebijakan stabilisasi harga pangan nasional. Sedangkan dalam jangka panjang akan meningkatkan produksi pertanian di Indonesia. saat ini terjadi gejolak dalam perekonomian global. Antara lain, kenaikan harga minyak bumi yang cenderung meningkat bahkan telah mencapai lebih dari $ 120/ barel., kemudian disertai pula dengan kenaikan harga pangan pada komoditas-komoditas tertentu. Kenaikan harga pangan itu antara lain dpicu memang berkurangnya suplai pada tingkat global akibat peralihan sumber-sumber pertanian dari pangan menuju energi dan juga meningkatnya ongkos transportasi bahan pangan itu akibat naiknya harga minyak dan BBM Gejolak perekonomian global ini memberikan dampak terhadap perekonomian nasional Karena kita hidup dalam era dimana ekonomi terintegrasi dengan perekonomian global, sudah barang tentu gejolak harga pangan dunia ini terutama menyangkut komoditas yang baik kita impor maupun kita ekspor ada pengaruhnya terhadap harga pangan itu di dalam negeri. Sebagai contoh, Indonesia mengimpor kedelai. Harganya naik, pasti kenaikan itu juga merembet ke Indonesia. Ekspor CPO, harganya naik. Kalau tidak seimbangkan antara ekspor dengan kepentingan dalam negeri, tentu juga mendorong kenaikan harga, baik CPO maupun minyak goreng. Mengantisipasi dan terus mengikuti perkembangan ekonomi global ini sesungguhnya mulai tahun 2006 Indonesia telah melakukan sejumlah langkah untuk meningkatkan ketahanan pangan sekaligus untuk menstabilkan harga-harga pangan Sebagai contoh, tahun 2006 diputuskann untuk tahun 2007 , meningkatkan produksi beras sejumlah 2 juta ton agar terjadi kecukupan suplai, dengan demikian juga dapat mempertahankan stabilitas harga. Dua juta ton itu hampir tercapai, dengan demikian n situasi perberasan nasional akan sedikit lebih baik karena langkah-langkah yang dilakukan pemerintah tahun 2007. Hal itu juga untuk kepentingan komoditas gula, termasuk sesungguhnya dengan berbagai instrumen, termasuk instrumen fiscal. Pemerintah juga juga melakukan langkah-langkah untuk menstabilkan harga minyak goreng. Meskipun minyak goreng ternyata belakangan tetap memiliki kenaikan yang tajam akibat perkembangan harga di tingkat global Terjadi situasi khusus, utamanya pergerakan harga komoditas pangan tertentu pada bulan Desember 2007 dan Januari 2008. Kita tahu bahwa harga kedelai, minyak goreng, terigu mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Minyak tanah meskipun telah kita berikan subsidi yang besar, kurang lebih 6000 per liternya dan hanya kita jual 2000 rupiah, ditambah nanti harga transportasi, kenyataannya di lapangan ada kenaikan harga yang signifikan. Oleh karena itu disamping kedelai, minyak goreng, dan terigu, minyak tanah menjadi objek komoditas yang distabilkan harganya melalui kebijakan fiskal. Tentu kalau tidak lakukan langkah-langkah yang cepat dan tepat, kenaikan harga yang cukup signifikan ini membebani rakyat . terutama golongan ekonomi lemah atau golongan miskin dan setengah miskin. Oleh karena itu tugas pemerintah adalah menstabilkan harga pangan pokok itu, khususnya yang diatur secara riil adalah komoditas beras, minyak goreng, kedelai, terigu, dan minyak tanah. Tentu saja ada konsekuensi yang menyangkut APBN 2008. Oleh karena itulah tentu mesti dilakukan penyesuaian terhadap APBN 2008 tersebut dan sebagaimana layaknya penyesuaian. Pemerintah dengan DPR agar dapat dilakukan penyesuaian yang tepat sesuai apa persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia sekarang ini.
Secara maraton Pemerintah telah melakukan penggodokan, mengembangkan dan menguji pilihan-pilihan sebagai bagian dari paket kebijakan stabilisasi harga. Dengan pula dilakukan rangkaian konsultasi dan komunikasi, dialog dengan para pelaku ekonomi, jajaran BUMN terutama 90 persen yang menguasai aset BUMN, yang bisa berkontribusi dalam stabilisasi harga pangan termasuk bisa membantu rakyat yang paling berdampak dengan pihak swasta besar yang berusaha di bidang pangan, eskportir, importir, distributor, industri pengolahan makanan dan minuman, dan lain-lain. Juga dengan pedagang kecil, eceran, misalnya dengan perajin tahu, perajin tempe, dengan petani kedelai, beras, dan lain-lain, dengan rakyat atau konsumen akhir termasuk pengecekan langsung yang dilakukan dengan sejumlah pejabat, di pasar untuk melihat riil pergerakan atau fluktuasi harga kedelai, minyak goreng, beras, terigu, dan sebagainya. Meskipun ada tren penurunan beberapa hari terkahir ini, tapi penurunan itu belum signifikan. Oleh karena itu tetap langkah-langkah dan kebijakan stabilisasi yang dilakukan. Stabilisasi harga tentunya memiliki target, sasaran, maka digunakan instrumen fiskal misalnya. Melakukan penyeimbangan ekspor dengan yang dikonsumsi dalam negeri
.
III. Pendekatan Teori

Pendekatan teori dalam memecahkan persoalan bangsa yang terkait dengan politik ekonomi bangsa, seperti krisis pangan pada prinsip perlu mendasarkan diri pada beberapa teori yang mendukung proses pengambilan keputusan dalam ekonomi politik antara lain :
1. Classicial approach :
Pendekatan ini dimulai pada abad 19, ketika Negara mulai untuk pertama kalinya menggunakan politik ekonomi dalam proses pengambilan keputusan. Pada periode ini politik ekonomi klasik belum dapat exactly seperti sekarang ini. Ketika itu Adam Smith melakukan kritik terhadap kaum phisiocrats pada pertengahan abad ke 18. Melalui tulisannya dalam buku The Wealth of Nations tahun 1776. Dalam zaman ini dapat dibagi the classical political economy kedalam dua bagian yaitu
a) Pendapat yang mengatakan market self regulation.
bahwa untuk mencapai satisfaying, maka perekonomian sebaiknya perekonomian diatur berdasarkan mekanisme pasar.clasical economic menclaim bahwa hanya individu yang kuat, yang bekerja keras yang dapat bertahan dipasar. Tingkat pendapatan dan kesejahteraan sangat ditentukan oleh mekanisme demand an supply dari produk yang diperjual belikan dipasar. Kunci dari pendapat klasik adalah asumsi bahwa that no reasonable motive could lead a seller to hold money rather then one of the goods, money could buy. Masalah penting dalam self market regulation adalah kepuasan setiap individu dalam self market regulation tergantung pada property yang dibawah kedalam pasar. It is not his need that determines what he consumes but his ability to satisfy the needs of others.
b) Theory of value and distribution.
kunci utama adalah pemahaman terhadap pengaruh ekonomi klasik dalam hubungannya dengan ekonomi dan politik. Dalam teori modern dan classical tradisonal terfokus pada value dan distribution. Dimensi utamanya terkait dengan hubungan antara social devision of labor dengan commodity exchange. The divison of labor a very close association with exchange. Devision of labor mengambil posisi dalam classical treatmen of exchange analogous. The labor theory of value terkait langsung antara devisionb of pool of social labor dengan exchange of commodities. Sedangkan income distribution menyatakan bahwa tingkat upah sangat tergantung pada specification of subsistence bundle. Dengan asumsi bahwa the magnitude of surplus tergantung pada teknologi sebagai faktor determinan dalam produce of labor

2. Marxian Political Economy..

Marxists melihat politik didalam setiap sepration dari civil society. The class process by surplus value adalah pendekatan dari capitalism. namun dalam political economy dalam Marxist theory tidak secara langsung melakukan studi tentang ecomics dan political. Konsep dari the class central Marxian theory dapat dilihat dari beberapa hal penting
1. Ketertatikan kepada struktur produksi. Keinginan setiap individu sangat terngantung pada tempat dan process of social reproduction.
2. Adanya fundamental link antara ekonomi dan politik. Dan pusat politik terletak pada ide economic interest, dan bagaimana mendefinisikan agenda politik. Namun antara economic interest dan politic interest adalah considerable. Sebelum economic interest dilaksanakan secara langsung dalam politik, maka setiap individu, mempunyai share interest dalam organisasi yang menhasilkan overcome collective action problem. Marx berbeda dengan capitalism. kalau capitalism mengikuti pola aktivitas economic interest dirumuskan sebagai berikut : M-C-M sedangkan Marx mengikuti pola C-M-C dimana C (Laboratoium Capasity) ------------M (wage) ---------- C (Consumption).

3. Neoclassical political economy :

Sentral dari pemikiran neoklasik adalah the nation of constrained choice. Dalam konteks ini setiap individu memahami pilihannya, ketika seseorang memutuskan dengan memilih dari beberapa alternative. Dalam pendekatan neoklasik ada hubungan antara economic dan politics sebagai sebuah frame work yang tidak bisa dipisahkan. Economic adalah proses untuk mencari kepuasaan maksimum (maximization of saticfaction). Oleh karena itu neoclassic political economic berbasis pada economic logic of contrains choice, dan sirkulasi private transaction untuk memaximumkan tingkat kesejahteraan (welfare). Itu sebabnya neoclassic approach lebih terfokus pada properity right. Namun neoklasik juga melihat persoalan eksteralitas dalam economic activities.

4. Keynesian Political economic.

Keynesian sebenarnya mengkritik market self regulation berdasarkan pemikiran klasik maupun neoklasik.keynes mempertanyakan apakah market system dapat fully exploited society’s productive potential. Oleh karena itu Keynes berpendapat bahwa economic activity dikendalukan oleh agregat demand. Pendapat Keynes ini terfokus stability dan adegute market fungction, bukan dengan automatic mechanism tetapi oleh administrative of government. Oleh karena itu perlu campur tangan pemerintah dalam kegiatan perekonomian untuk mempertahankan agregat deman, sehingga perekonomian dapat tetap stabil atau berada dalam keadalan equilibrium. Untuk itu perlu dijaga the circularity of economics process, dengan implikasinya pada economic cycle. Suatu Negara dapat stabil bila circular flow dapat dihubungan dengan beberapa hal sebagai berikut :
a. Government spending : pemerintah menggunakan revenue untuk acquire goods dari private sector, employ labor, dan memperoleh pendapatan untuk konsumsi, sangat tergantung pada providing goods dan services in exchange.
b. Government Borrowing : merupakan salah satu sumber revenue, termasuk borrowing from private sector dan isu government bond. Oleh karena itu perlu dilakukan purchase of government bond dari state provide revenue.
c. Texas. Penciptaan revenue melalui taxation.
5. Ecocomic approach to politics.
Pendekatan dalam teori ini lebih terfokus pada rasionalitas dan efisiensi. Lahan dari pendekatan ini adalah method base of resources. Kemudian mengaplikasikan politik pada asumsi pokok dari economic approach yaitu pengambilan keputusan pada tingkat public dan private. Pendekatan ini dengan mengadakan pilihan terhadap perbedaan kondisi ekonomi dan politik, sehingga dapat ditetapkan kebijakan yang tepat termasuk didalam didalamnya kebijakan pangan nasional.

6. Power Central Approach to political economics

Pendekatan ini menegaskan bahwa fondasi suatu Negara itu harus kuat. Oleh karena itu politik ekonomi suatu Negara bertumpuh pada foundation of power meliputi :
a. Problem pertama yaitu kondisi kekuatan yang cukup untuk supply a content of politics.
b. Problem kedua yaitu intergrating power dab economics concern untuk membangun capacity.
Oleh karena itu ide utama dari pendekatan ini adalah efisiensi dengan terfokus pada perubahan efisiensi untuk menciptakan kekuatan atau power.
7. State Centered Approach to political economiy.
Dalam pendekatan ini Negara memegang peranan penting dalam mendrive political economiy. Pendekatan ini melihat political economy diberi energy oleh economy, dengan system private of interest., melalui state autonomy, society centered approach, dan transformation view of state.
8. Justice centered theories.
Konsep dari justice refers berdasarkan pada the social ordering prinsicples. Titik sentral dari pendekatan ini adalah justice and right melebihi self seeking and efficiency. Negara mempunyai peranan penting dalam membangun justice dan menentukan the bounderies of political and economy.

IV. Kesimpulan

1. Kebijakan Negara Berkembang untuk mendukung pasar bebas perlu dicermati, karena ternyata laju perdagangan bebas saat ini telah menimbulkan masalah baru yang begitu serius yaitu krisis pangan. Dimana pangdan melada dunia, termasuk Negara-negara agraris yang justru sebagai penghasil utama pangan dunia.
2. Sebuah irono Krisis pangan dunia terjadi disaat kebutuhan pangan Indonesia tergantung pada impor, padahal sebelum Indonesia termasuk Negara surplus pangan bahkan sudah menempati posisi sebagai Negara exportir pangan. Oleh karena itu untuk menggairahkan kembali produksi pangan dalam negeri Indonesia perlu mengatur tata niaga pangan dan meningkatkan produksi pangan secara terproyeksi dan berkesinambungan.
3. Kebijakan pemerintah melakukan impor beras masih menimbulkan kontoversi dikalangan masyarakat. Oleh karena itu daripada pemerintah melakukan impor beras, sebaiknya pemerintah memperbaiki saluran distribusi faktor produksi untuk mendukung program peningkatan produksi pangan secara nasional, sehingga Indonesia dapat kembali pada posisi Negara swasembada pangan, bahkan kalau perlu dapat diekspor.
4. oleh karena itu pemerintah perlu mendorong kegiatan disektor riel, melalui peningkatan peran kebijakan fiscal. Dalam rangka memelihara dan menjaga stabilisasi harga komoditas pangan,maka dukungan kebijakan fiscal dalam bentuk pemerintah menanggung PPNatas minyak goring, tepung, terigu, kedelei, beras serta pembebasan bea masuk atas inpor faktor produksi, seperti bibit, teknologi, sehingga dapat dijangkau oleh produsen dalam hal ini petani.
5. Untuk menghasilkan kebijakan yang tepat, maka pemerintah perlu mendasarkan diri pendekatan theory, yang sesuai dengan kondisi perkonomian Indonesia.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

1. James A. Caporaso dan david P. Levina, Theories Political Economiy, Cambridge University Press.1988.
2. http/www.spi.or.id/?p=124 : tentang kedaulatan padangan jalan keluar krisis
3. http/www.worldpress.com/fedd/tentang krisis pangan dinegara agraris.
4. http/scrib.com/browse?=84; tentang krisis pangan
5. http/antara.co.id/arc/2008/krisis pangan lebih menakutkan dari krisis energy
6. http/www.bbc.co.uk/Indonesian/news/story/ tentang keprihatinan sosial krisis pangan dunia.
7. http/www.indonesia-ottawa.org/information/detail : tentang kebijakan harga.












Tidak ada komentar:

Posting Komentar