Sabtu, 07 Maret 2009

PERS DI INDONESIA PERLU DILINDUNGI KONSTITUSI

PERS INDONESIA PERLU PERLINDUNGAN KONSTITUSI
Oleh Ir. Daniel A.W Pattipawae, Msi
(Reporter TVRI Maluku)

Sudah saatnya pers di Indonesia menyuarakan perlindungan konstitusi bagi kegiatan jurnalistik di negara ini. Hal itu karena Pers di Indonesia selama ini masih berada pada posisi yang lemah. Pers belum ditempatkan sejajar dengan lembaga Negara lain seperti lembaga legislative,yudikatif, maupun eksekutif. Padahal pers dikatakan sebagai pilar keempat dari tiang Negara. Kalangan pers belum memperoleh perlindungan hukum yang memadai. Sekalipun undang-undang pers nomor 40 tahun 1999 telah menjamin kebebasan pers . Itulah sebabnya kalangan pers sering kali menjadi objek kekerasan dan main hakim sendiri oleh lelompok-kelompok masyarakat bahkan oleh kekuasaan. Bentuk aksi kekerasan itu dapat berupa individu, maupun kelompok. Hal itu terjadi karena pers masih dibayang-bayangi oleh kekuasaan baik yang bersifat formal maupun non formal. Pengaruh kekuasaan yang menyebabkan timbulnya aksi kekerasan terhadap pers dapat berupa political mass (masa politik), public mass (masa public). Kedua pengaruh ini terjadi karena political preasure (tekanan politik) dan public preasure (tekanan publik).
Kasus majalah tempo dengan Tomy Winata yang disertai dengan pengerahan massa disebut public mass. Sedangkan kasus yang menimpa jawa pos dengan mantan presiden abdurachman wahid yang disertai dengan pengerahan massa pemuda GP ansor yang menyerang kantor jawa pos di Surabaya disebut political mass. Demikian pula dengan kekalahan majalah Time dalam kasus gugatan Mantan Presiden Soeharto telah membuktikan bahwa kedudukan pers di Indonesia masih lemah. Contoh-contoh tersebut baru sebagian kecil dari permasalahan dunia pers di Negara ini. Oleh karena itu penulis sangat mendukung upaya dewan pers untuk memperkuat UU Pers dengan melakukan Amandemen UU dasar 1945. Langkah Dewan Pers harus disertai dengan tindakan kongkrit dan jangan mengumber wacana. Tetapi harus dapat direalisasikan bagi perkembangan pers di Negara ini. Apalagi posisi UU pers No. 40 tahun 1999 hanya bersifat mandatori right, sehingga tidak mampu menandingi kekuatan hukum yang bersifat legislator right yang berada dalam genggaman kekuasaan. UU Pers juga bukan lex specialis yang dapat menghapus akibat hukum yang dilakukan seorang wartawan.
Padahal dalam UU pers pasal 18 ketentuan pidana ayat 1 menyatakan setiap orang yang melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi kemerdekaan pers di pidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta. Sebaliknya pers yang melanggar ketentuan pasal 5 ayat 1 dan ayat 2 serta pasal 13 di pidana dengan pidana denda paling banyak denda Rp 500 juta. Pers yang melanggar ketentuan pasal 9 ayat 2 dan pasal 12 dipidana denda paling banyak Rp 100 juta. ketentuan pidana telah diatur dalam undang-undang pers no. 40 tahun 1999.
Namun kenyataannya, kelompok masyarakat ataupun kalangan penguasa memanfaatkan ketentuan itu untuk melakukan perlawanan hukum terhadap pers, yang berakibat munculnya tindakan kekerasan, main hakim sendiri. Bahkan yang lebih memprihatikan lagi yakni melakukan proses hukum bagi para jurnalist dengan tidak berdasarkan pada UU pers tetapi menggunakan UU lain yang memiliki kekuatan Lagislatory Right.
KASUS MERRY BETH
Untuk memberikan gambaran tentang pentingnya perlindungan konstitusi terhadap pers penulis menyampaikan beberapa contoh kasus yang terjadi pada beberapa Negara maju, khususnya di Amerika. Contoh kasus itu antara lain kisah seorang siswa sekolah dasar Merry Beth yang memprotes keterlibatan Amerika dalam perang di Vietnam dengan cara memasang pita hitam pada lengannya, bersama beberapa rekannya. Aksi protes tersebut membuat Penguasa Amerika ketika itu marah, dan memerintahkan kepala sekolah memberikan skorsing kepada siswa yang bersangkutan. Tindakan kepala sekolah itu telah membatasi hak-hak mereka untuk menyampaikan pendapat, bahkan membatasi kebebasan pers sebagaimana diatur dalam amandemen pertama UUD Amerika tahun 1776, yakni freedom of press. Mereka pun mengajukan tuntutan dan menyatakan bahwa skorsing yang dijatuhkan kepada mereka bertentangan dengan kostitusi Amerika . Namun para siswa itu kalah dalam sidang pertama. Hakim berpendapat bahwa apa yang yang dilakukan Merry Beth dan kawan –kawan telah menimbulkan keributan antara siswa yang tidak setuju dan siswa yang setuju dengan pendirian politik dari Merry Beth.
Kasus tersebut akhirnya di bawa ke Mahkam Agung Amerika. Dalam keputusan Mahkam Agung ternyata memenangkan Merry Beth dan kawan – kawan. Sekalipun kasus ini tergolong kasus kecil, namun Mahkama Agung Amerika merasa perlu menyelesaikan kasus ini dengan merujut pada konstitusi, tentang Freedom Of Press, sebagai hukum tertingi di Amerika.

KASUS NEW YORK TIME DAN WOSHINGTON POST
Selain kasus Merry Beth , ada juga kasus dua Koran terkemuka di Amerika masing – masing New York Time dan Woshington Post. Pemerintah Federal ketika itu sedang berupaya keras untuk menghalangi penerbitan hasil penelitian rahasia mengenai keterlibatan Amerika di Vietnam, yang kemudian di kenal dengan dokumen pentagon. Pada tahun 1971 kedua Koran tersebut menerima salinan hasil penelitian dari seseorang mantan pegawai pemerintah Federal. Pada tanggal 13 juni 1971 New York Time mulai melakukan persiapan untuk menerbitkan hasil penelitian dimaksud. Ketika Pemerintah Federal mengetahui hal itu mereka berupaya melakukan komunikasi dengan pimpinan kedua media tersebut untuk membatalkan penerbitan dokumen pentagon. Namun dengan mengacu pada freedom of Press dalam UUD Amerika maka berita tersebut akhirnya diterbitkan .
Kebebasan Pers di Amerika sebenarnya telah dimulai dengan melakukan amandemen pertama UU Dasar Amerika tahun 1776. Sekitar 300 tahun lalu.Sedangkan kebebasan pres di Indonesia justru baru dimulai tahun 1998, sejak runtuhnya regim orde baru, dan lahirnya orde reformasi yang dimulai oleh Mantan Presiden B,J Habibi Ini berarti kebebasan pers di Indonesia baru berusia 9 tahun.
Suatu usia yang masih remaja, namun kebebasan pers sudah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Kendati demikian masih memiliki kedudukan yang lemah bila dibandingkan dengan lembaga Negara lainnya.
Kedua contoh kasus yang di sampaikan penulis bukan untuk mengintroduksi kebebasan pers pada Negara – negara maju. Namun ingin memperlihatkan betapa pentingnya perlindungan konstitusi bagi pers di Indonesia dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya. Aksi – aksi kekerasan terhadap pers sesunguhnya harus diselesaikan dengan mengacu kepada kententuan hukum tertinggi yakni konstitusi. Namun sayangnya di Indonesia kebebasan pers baru di atur dalam UU No.40 tahun 1999 yang ternyata belum dapat memberikan perlindungan hukum yamng mamadai bagi kalangan jurnalistik. Apa lagi dalam beberapa tahun terakhir ini terjadi cukup banyak kekerasan terhadap pers di Indonesia. Hal itu cukup memperihatinkan .
Melalui kesempatan ini penulis menyumbangkan pemikiran ini, yang mungkin saja dapat dijadikan referensi bagi pengembangan kebebasan pers di Indonesia. Untuk itu MPR hasil pemilihan umum tahun 2009 mendatang kiranya dapat ikut memberikan konstribusi bagi pengembangan kebebasan pers, dengan melakukan Amandemen UUD 1945 yang secara tegas menetapkan kebebasan pers dalam batang tubuh UUD 1945. Tetapi hal itu harus disertai dengan persiapan oleh dewan pers dengan memberikan argumentasi yang akurat kepada pemerintah bahwa pers Indonesia saat ini membutuhkan perlindungan konstitusi. Dewan Pers harus berani menyuarakan aspirasi masyarakat pers tentang pentingnya perlindungan konstitusi bagi pers di Indonesia, Semoga ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar